foto : kompas
finews,Jakarta – Polisi tengah mengusut dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap warga Rohingya yang berlabuh menggunakan kapal di Ule Ateng, Aceh Timur.
Dugaan adanya sindikat penyelundupan orang diperkuat dengan pernyataan seorang pengungsi Rohingya bernama Zakaria (40), yang membayar agen sebesar 20 juta untuk mengantarkan istri dan anak-anaknya naik kapal dari kamp pengungsi di Bangladesh ke Aceh pada Nopember 2023.
Namun, Zakaria tak tahu identitas orang yang dia kirimi uang. Yang jelas, orang itu ada di Bangladesh. “Saya bayar 20 juta untuk mereka pergi naik kapal kayu,” kata Zakaria kepada wartawan di Aceh, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Zakaria berangkat dari Myanmar menuju Thailand pada tahun 2015. Sementara, istri dan tiga anaknya disuruh untuk mengungsi ke kamp di Bangladesh.
“Saya dulu pergi tahun 2015, masuk Thailand dan sekarang di Malaysia,” ujar Zakaria. Kini, Zakaria hanya menunggu waktu untuk bertemu dengan anak dan istrinya yang telah berpisah selama delapan tahun.
“Saya di sini kerja serabutan saja, tak ada uang, dan baru sembuh sakit. Kalau ada uang, saya mau ketemu mereka,” kata Zakaria dalam bahasa Melayu.
Istri dan ketiga anak Zakaria merupakan bagian dari gelombang pertama pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh beberapa pekan lalu.
Satu ditangkap tersangka
Sementara, Kapolres Aceh Timur AKBP Andy Rahmansyah, mengatakan, pihaknya telah menangkap seorang sopir truk serta masih mencari dua orang berinisial L dan I yang ditetapkan sebagai tersangka sindikat TPPO 36 warga Rohingya yang berlabuh dengan kapal di Aceh Timur.
“Untuk 36 orang itu disengaja, memang sudah direncanakan dan melibatkan uang. Sehingga itu kami tetapkan tersangka dengan pasal imigrasi dan pasal TPPO,“ ujar Andy kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan masing-masing dari 36 warga Rohingya itu membayar lebih dari Seribu Dollar Amerika (15,5 juta) untuk pergi ke Aceh menggunakan kapal kecil sebelum kemudian dipindahkan ke provinsi lain untuk melakukan perjalanan ke negara tujuan akhir.
Sementara, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Azharul Husna, mengatakan, pemerintah dan penegak keamanan perlu memperketat aturan penyediaan akomodasi bagi pengungsi. Sebab, mereka sangat rentan menjadi korban praktik TPPO.
“Di sinilah akar masalahnya. Penting untuk pemerintah memperketat jaringan ini. Bagi pengungsi, hampir tidak ada jalan untuk keluar selain menggunakan jaringan ini,“ ujar Husna.
Sementara, Plt Asisten Deputi Bidang Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Luar Biasa Kemenko Polhukam, Benny M Saragih, enggan mengomentari dugaan TPPO tersebut usai meninjau penanganan pengungsi Rohingya bersama Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri Kemenko Polhukam, Minggu (26/11).
“Nanti kita lihat sejauh mana keterlibatan masuk dalam sindikat, (TPPO) kita belum tahu. Justru kedatangan kita ke sini juga untuk sekaligus mengecek bagaimana penanganannya, memonitoring pengungsi di penampungan-penampungan yang baru datang,” kata Benny kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan, saat ini Polda Aceh masih melakukan penyelidikan terhadap dugaan TPPO sehingga proses masih berjalan. Oleh karena itu, Kemenko Polhukam masih menunggu hasil pemeriksaan Polda Aceh terkait dugaan itu. “Karena kesulitan juga komunikasi kita dengan bahasa dengan mereka. Kita lihat dulu, kalau itu saya belum berani komentar terkait masalah itu karena masih berupa dugaan,” katanya.
Koordinator Kontras Aceh, Azahrul Husna, mengatakan, seringkali pengungsi tidak punya jalan lain selain beralih ke jaringan penyelundupan illegal agar dirinya atau keluarganya dapat sampai di negara yang aman.
Padahal, pengungsi yang melalui jalur tersebut rentan menjadi korban kekerasan dan tindak pidana lainnya. ”Orang-orang yang terzalimi ini, yang tidak punya identitas, tidak punya kartu apa pun untuk menyelamatkan diri memang, tampaknya tidak ada jalan lain selain menggunakan penyelun. (*)