Kuota Haji Dihapus, Negara Mana Paling Terdampak?

Serba-serbi26 Views

foto: ilustrasi (baznas kota yogyakarta)

 

finews, Jakarta — Rencana Pemerintah Arab Saudi untuk menghapus sistem kuota haji dalam musim haji mendatang memunculkan pertanyaan besar: negara mana yang akan paling merugi?

Langkah ini dikabarkan diambil demi meningkatkan jumlah jamaah dan, pada saat yang sama, mendongkrak pemasukan dari penyelenggaraan ibadah haji. Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa kebijakan tersebut mencerminkan orientasi bisnis yang kian kuat dalam tata kelola haji Arab Saudi.

“Saudi Arabia ini sekarang pendekatannya juga sangat apa ya, katakanlah business oriented ya. Konsultannya juga adalah konsultan dari orang-orang yang terkenal dari Amerika dan ini juga menghitung betul bagaimana memungut dana sebesar-besarnya melalui potensi strategis dari potensi geografis yang dimiliki Saudi Arabia,” ujar Nasaruddin dalam acara State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report di Gedung Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Selasa (8/7).

Ia menambahkan bahwa kemungkinan besar, pada musim haji yang akan datang, tidak akan ada lagi pembatasan jumlah jamaah dari masing-masing negara.
“Karena itu juga musim haji yang akan datang itu juga tidak… kemungkinannya, tidak akan dibatasi,” tegasnya.

Selama ini, kuota haji untuk tiap negara ditentukan berdasarkan kesepakatan bilateral antara Arab Saudi dan masing-masing pemerintah, termasuk Indonesia. Kuota itu biasanya diumumkan setiap tahun oleh Kementerian Agama setelah penandatanganan nota kesepahaman penyelenggaraan haji.

Pada 2024, Indonesia menerima kuota tertinggi sepanjang sejarah, yakni 241.000 jamaah, yang terdiri atas 213.000 jamaah reguler dan 27.600 jamaah khusus. Namun, pada 2025, kuotanya kembali turun menjadi 221.000 jamaah—terdiri atas 203.320 jamaah reguler dan 17.680 jamaah khusus.

Meski demikian, Indonesia masih menjadi negara pengirim jamaah haji terbesar di dunia.

Negara Pengirim Jamaah Terbanyak

Dalam daftar negara pengirim jamaah haji terbanyak 2025, Pakistan menempati urutan kedua setelah Indonesia, dengan kuota 180 ribujamaah, disusul India sebanyak 175 ribu jamaah. Ketiga negara ini secara konsisten menduduki posisi teratas dalam beberapa tahun terakhir.

Penetapan kuota selama ini dilakukan dengan mempertimbangkan populasi muslim di masing-masing negara serta kapasitas layanan di Tanah Suci. Namun, perubahan kuota bukan hal yang baru. Pada masa pandemi Covid-19, misalnya, kuota dipotong drastis menjadi 100.051 jamaah. Pada tahun-tahun berikutnya, angka ini perlahan kembali naik, hingga mencapai 241 ribu pada 2024, sebelum kembali dikurangi tahun ini.

Meski memiliki kuota terbesar, antrean haji di Indonesia masih teramat panjang. Data dari Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama menunjukkan bahwa pada 2024, sebagian besar provinsi memiliki masa tunggu lebih dari 28 tahun. Di Kalimantan Selatan, calon jamaah bahkan harus menunggu hingga 38 tahun untuk bisa berangkat ke Tanah Suci.

Haji Furoda, Harapan di Tengah Ketidakpastian

Dengan adanya tantangan tersebut, beberapa pendekatan dapat dilakukan. Pertama, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali ketentuan waktu tunggu haji dengan memperhatikan secara serius usia dan kesehatan jemaah.

Kedua, subsidi biaya haji yang optimal harus ditetapkan lebih tepat. Orang-orang dengan kemampuan finansial yang lebih besar selayaknya menerima subsidi dalam jumlah yang sama dengan orang-orang dari latar belakang yang kurang mampu.

Indonesia kemudian dapat memperkuat kerja sama teknis dengan Pemerintah Arab Saudi, khususnya dalam pengelolaan fasilitas, seperti tenda, dapur umum, dan transportasi selama musim puncak haji.

Keterlibatan langsung Indonesia dalam penyediaan fasilitas ini dapat meminimalkan berbagai kendala potensial di lapangan.

Terakhir, pelaksanaan haji idealnya harus dievaluasi secara terbuka dan menyeluruh setiap tahun. Evaluasi ini tidak boleh terbatas pada aspek finansial, tetapi juga mencakup kualitas layanan, pengalaman jemaah, dan partisipasi masyarakat sipil.

Hal ini perlu didukung dengan pelaporan dan pendataan yang makin terstruktur dari tahun ke tahun. Dipadukan dengan semangat transparansi, kepercayaan publik terhadap sistem penyelenggaraan makin meningkat. (ags)