foto: lukitaningsih (kiri), dariyah (tengah), dan k’tut tantri (kanan)/arsip nasional RI
finews, Jakarta – Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 tak hanya mencatat heroisme para pria. Di balik dentuman meriam dan kobaran semangat rakyat, banyak perempuan ikut mengukir sejarah perjuangan.
Mereka hadir bukan sekadar saksi, tetapi juga pelaku yang terjun langsung ke garis depan. Dari dapur umum hingga medan tempur, para perempuan Surabaya menunjukkan keberanian luar biasa.
Hari Pahlawan yang setiap tahun diperingati, menjadi momentum untuk mengenang jasa mereka. Namun sayangnya, nama-nama perempuan tangguh ini masih jarang dikenal publik.
Berikut tiga sosok pahlawan perempuan yang berperan besar dalam peristiwa 10 November 1945. Ketiganya memberi makna bahwa perjuangan kemerdekaan adalah kerja bersama antara laki-laki dan perempuan.
Lukitaningsih, Pemimpin Laskar Putri di Medan Perang
Sosok Lukitaningsih dikenal sebagai pemimpin Pemuda Putri Republik Indonesia (PPRI) di Surabaya. Organisasi ini merupakan federasi dari kelompok pelajar, pegawai, dan pemuda kampung yang terbentuk pada 1945.
Menurut buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional tahun 1992, di masa genting revolusi, Lukitaningsih memimpin pembentukan Laskar Putri. Mereka mendirikan dapur umum, menolong pengungsi, dan menjadi tenaga Palang Merah di tengah medan pertempuran.
Sebanyak 200 remaja putri bergabung dalam asrama PPRI dan siap dilatih menghadapi situasi darurat. Namun sebelum pelatihan selesai, pertempuran besar 10 November meletus di Surabaya.
Lukitaningsih dan sekitar 50 anggota Laskar Putri langsung diterjunkan ke garis depan. Mereka bertugas mengevakuasi korban, mengobati yang terluka, hingga menggali dan menguburkan jenazah.
Banyak diantara mereka yang baru pertama kali melihat senjata dan mendengar ledakan mortir. Namun di bawah komando Lukitaningsih, mereka tetap bertahan dan berjuang tanpa rasa takut.
Sosoknya menjadi lambang keberanian perempuan muda Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Hingga kini, namanya masih tercatat dalam arsip sejarah nasional.
Dariah, Pejuang Dapur Umum Yang Dijuluki ‘Dar Mortir’
Nama lengkapnya Darijah Soerodikoesoemo, seorang pejuang yang dikenal karena keberanian dan kepeduliannya. Ia mendapat julukan ‘Dar Mortir’ karena tetap bekerja di tengah dentuman peluru dan bom.
Kisahnya tertulis dalam buku Pertempuran Surabaya karya Nugroho Notosusanto terbitan Pusat Sejarah ABRI tahun 1995. Dalam catatan tersebut, Dariah mendirikan dapur umum di Gentengkali, Surabaya.
Ia awalnya meminta izin kepada Ketua Komite Nasional Indonesia Doel Arnowo untuk mengambil beras di gudang Kalimas. Dengan bantuan Polisi Istimewa, ia berhasil mengelola dapur umum bagi para pejuang.
Setiap hari, sekitar 500 nasi bungkus ia siapkan untuk para pejuang di medan pertempuran. Ketika persediaan menipis, Dariah bahkan menukar 100 gram emas miliknya untuk membeli bahan makanan.
Keberaniannya kini diabadikan dalam diorama Museum 10 November Surabaya. Sosok Dariah menjadi simbol kepedulian dan pengorbanan perempuan di masa revolusi.
K’tut Tantri, ‘Soerabaja Sue’ dari Skotlandia
Nama aslinya Muriel Stuart Walker, lahir di Glasgow, Skotlandia, pada 19 Februari 1898. Meski bukan warga Indonesia, hatinya berpihak penuh kepada perjuangan rakyat Indonesia.
Dilansir dari laman resmi Kemendikdasmen, ia aktif membantu perlawanan rakyat bersama Bung Tomo di Surabaya. K’tut Tantri menolak kembali ke negerinya dan memilih bergabung dalam perjuangan kemerdekaan.
Ia ikut menyaksikan langsung Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Dengan nama siaran ‘Soerabaja Sue’, ia menyebarkan pesan perjuangan melalui radio ‘Voice of Free Indonesia’.
Melalui siaran berbahasa Inggris, ia menyeru dunia agar mendengar perjuangan rakyat Indonesia. Suaranya menembus blokade informasi dan mengabarkan semangat kemerdekaan ke berbagai negara.
Selepas perang, ia aktif menulis dan melakukan kampanye solidaritas di luar negeri. Pemerintah Indonesia menganugerahinya Bintang Mahaputra Nararya pada 1998 atas jasa perjuangan dan pengabdiannya.
K’tut Tantri wafat di Sydney, Australia, pada 27 Juli 1997. Kisah perjuangannya kemudian ia tuangkan dalam buku autobiografi ‘Revolt in Paradise’.
Perempuan-perempuan ini bukan sekadar pendamping perjuangan, melainkan pelaku sejarah sesungguhnya. Mereka hadir di garis depan dengan keberanian, ketulusan, dan semangat kemanusiaan.
Dari dapur umum hingga siaran radio, mereka membuktikan bahwa cinta tanah air melampaui batas gender dan bangsa. Semangat itu kini menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia.(*)
*kbrn








