foto : istimewa
finews,- Sesuai dengan Undang-Undang No.18/2012 tentang Pangan, yang disebut pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Indonesia memiliki lahan baku sawah 7.463.948 yang relatif lebih sedikit dari luas lahan yang ada. Luasan lahan sawah itu bisa menghidupi sekitar 278 juta jiwa.
Pangan Bukan Hanya Beras.
Jagung, kedelai, daging, gula, palawija, hortikultura, ikan, susu, dan lain-lainnya lagi tergolong ke dalam bahan pangan. Dengan demikian, jika berkehendak untuk mencapai swasembada pangan, maka jawabannya bukan hanya meraih swasembada beras, tetapi juga swasembada bahan pangan lainnya.
Hingga kini,Indonesia baru mampu meraih swasembada beras yang sifatnya on trend, bukan swasembada beras berkelanjutan.Indonesia belum pernah mencapai swasembada kedelai atau swasembada daging sapi,juga kesulitan untuk menggapai swasembada gula. Itu sebabnya, kondisi swasembada pangan sendiri hingga kini masih mengedepan sebagai cita-cita politik.
Catatan kritis yang perlu diutarakan, apakah kemauan politik Prabowo/Gibran untuk meraih swasembada pangan, energi, dan air bisa disebut realistik atau utopis?
Jangankan meraih swasembada pangan, untuk mewujudkan swasembada beras kembali, sepertinya kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan.
Apakah selama 5 tahun ke depan kita akan dapat mewujudkannya? Atau cukup hanya dengan menyusun dan merancang Grand Desain lengkap dengan Roadmap pencapaiannya saja?
Swasembada beras hanyalah salah satu penopang terwujudnya swasembada pangan. Jika ingin swasembada berarti kita harus menggenjot peningkatan produksi dan produktivitas setinggi-tingginya. Untuk itu, kita perlu mencari biang kerok penyebab turunnya produksi beras.
Berdasarkan pengakuan pemerintah, faktor penyebab anjloknya produksi beras dapat diamati dari terjadinya iklim ekstrem seperti El Nino, pemupukan yang kurang, irigasi yang tidak optimal, bibit/benih yang tidak berkualitas, lemahnya penyuluhan pertanian di lapangan, berkurangnya dukungan anggaran pemerintah, dan lain sebagainya.
Selain itu, alih fungsi lahan yang tak terkendali diduga turut serta menurunkan produksi karena semakin menyusutnya lahan sawah petani. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan selama 10 tahun terakhir jumlah petani gurem mengalami pembengkakan sebesar 2,64 juta rumah tangga. Alih fungsi lahan yang membabi buta ditengarai sebagai penyebab utama melemahnya kedaulatan petani.
Hal lain yang dituding menjadi penyebab anjloknya produksi beras adalah berkurangnya jumlah petani padi di perdesaan. Kaum muda perdesaan lebih memilih meninggalkan kampung halamannya untuk berduyun-duyun datang ke kota-kota besar, ketimbang meneruskan profesi orang tuanya sebagai petani padi. Di benak mereka, menjadi petani padi sudah tidak menarik lagi.
Kalau dicermati dengan seksama, faktor penyebab turunnya produksi beras ujung-ujungnya akan bermuara pada Tata Kelola dan Sistem Perberasan yang belum berkualitas. Perencanaan yang belum mengedepankan database yang akurat, ditambah dengan penerapannya yang tidak berkesinambungan, membuat produksi tidak sesuai dengan harapan.
Dengan ditemukannya biang kerok turunnya produksi beras, kita akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas beras setinggi-tingginya menuju swasembada. Tentu dengan mengeliminasi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada. Jika swasembada beras tercapai, persiapan meraih swasembada komoditas pangan lain akan terbuka
Mengutip data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Menteri Pertanian Amran mengatakan terjadi penurunan luas lahan tanam padi sebesar 36,90 persen. Beberapa pernyataan Amran soal penurunan produksi padi.
Amran merinci, luas tanam padi pada periode tanam Oktober 2023 hingga April 2024 seluas 6,55 juta hektar. Luasan tersebut merosot 3,83 juta hektar dibandingkan rata-rata luas lahan tanam periode yang sama pada 2015-2019, yang mencapai 10,49 juta hektar.
“Penurunan luas lahan tanam ini akhirnya berimbas kepada produksi padi yang dihasilkan,” ujarnya.
Lanjut menteri fenomena cuaca ekstrem El Nino mengganggu hasil panen di Tanah Air.
“Sehingga kami anggap ini menjadi darurat pangan yang harus segera dicarikan solusi,” ujar Amran dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Rabu, 13 Maret 2024,mengutip cnbcindonesia
Dilansir dari laman Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Amran menyatakan salah satu penyebab menurunnya produksi padi adalah sistem dan izin pengambilan pupuk subsidi. Menurutnya, ada 20 persen petani terutama di Papua dan Kalimantan yang tidak bisa mengambil pupuk subsidi. (winarto – dari berbagai sumber)