Mengurai Resistensi NGO Terhadap Bataliyon Teritorial Pembangunan Antara Kecurigaan Dan Realistis

 

oleh : Garawijaya

finews,- Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) menginisiasi pembentukan *Batalyon Teritorial Pembangunan (Yonbang)* sebagai jawaban atas tantangan pertahanan modern, muncul gelombang resistensi dari sejumlah *lembaga swadaya masyarakat (NGO).* Mereka mempertanyakan orientasi pembangunan oleh militer, mencurigai potensi penyimpangan fungsi tempur, bahkan melempar tuduhan “militerisasi sipil” dan “intervensi militer terhadap ruang sipil”.

Namun, apakah resistensi ini berdasar, ataukah sekadar warisan ketidakpercayaan lama terhadap militer yang belum dikaji ulang secara rasional dan kontekstual?

Resistensi Yang Berulang: Pola Lama, Konteks Baru

Sejak era reformasi, sebagian kalangan sipil selalu waspada terhadap segala bentuk pelibatan militer di luar tugas tempur. Trauma sejarah Orde Baru dan dominasi militer di ranah politik sipil membuat banyak NGO—terutama yang bergerak di isu HAM dan demokrasi—secara refleks menolak apa pun yang berbau “ekspansi militer”.

Resistensi terhadap Yonbang pun lahir dari kerangka kecurigaan ini. Mereka menganggap bahwa TNI sedang mencari jalan kembali ke ranah sipil dengan membungkusnya dalam narasi pembangunan. Ditambah dengan minimnya pemahaman terhadap fungsi Operasi Militer Selain Perang (OMSP)yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2025, resistensi ini menjadi bias.

Namun yang luput dari perhatian adalah: konteks ancaman telah berubah drastis, dan begitu pula pendekatan pertahanan yang dibutuhkan Indonesia hari ini.

Miskonsepsi : Yonbang Bukan Militerisasi, Tapi Modernisasi Pertahanan

Banyak NGO menilai bahwa tugas pembangunan adalah domain sipil, bukan militer. Benar, tapi argumen ini mengabaikan fakta bahwa bukan seluruh pembangunan itu “sipil murni”, dan tidak semua wilayah mampu dijangkau secara efektif oleh lembaga sipil.

Yonbang bukan bertujuan mengambil alih fungsi kementerian, tetapi mengisi celah strategis dalam sistem pertahanan semesta. Dalam kondisi darurat, bencana, atau potensi konflik horizontal, keberadaan satuan militer yang mampu membangun logistik, komunikasi, bahkan infrastruktur dasar, adalah kebutuhan mutlak.

Penting dicatat: Yonbang tetap satuan militer. Mereka tetap dilatih, siap bertempur, dan tunduk pada sistem komando TNI. Yang membedakan hanyalah misi utamanya bersifat “dual capacity_” siap menghadapi ancaman bersenjata, tapi juga membangun ketahanan dari akar rumput.

Kepentingan Siapa yang Diwakili?

Pertanyaan kritis perlu diajukan terhadap sebagian NGO yang sangat vokal menolak Yonbang: siapa yang sebenarnya mereka wakili? Banyak NGO bergerak dengan dana hibah asing, dengan agenda yang kadang tidak sepenuhnya selaras dengan kepentingan strategis nasional.

Ketika TNI mulai membangun satuan yang memperkuat ketahanan wilayah dan memberdayakan rakyat, lalu muncul reaksi keras dari NGO luar negeri dengan narasi “abuse of military power”, kita harus waspada: jangan-jangan resistensi ini bukan soal HAM atau demokrasi, tapi soal menjaga Indonesia tetap lemah secara strategis.

Narasi ketakutan terhadap militer kadang sengaja dipelihara, agar negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak berani membangun sistem pertahanan yang otonom, mandiri, dan menyatu dengan rakyatnya.

Perlu Dialog, Bukan Penolakan Buta

Resistensi terhadap Yonbang seharusnya dibingkai dalam dialog konstruktif, bukan dalam bentuk agitasi dan framing negatif. Jika memang ada kekhawatiran terhadap potensi pelanggaran HAM atau disfungsi struktur sipil, itu sah untuk diawasi. Tapi menolak total ide Yonbang tanpa memahami konteks ancaman dan basis legalnya adalah kekeliruan strategis.

Apalagi, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 3 Tahun 2025 tentang TNI justru membuka ruang bagi TNI untuk berperan aktif dalam pembangunan wilayah sebagai bagian dari pertahanan non-konvensiona

Kehadiran Yonbang seharusnya dilihat sebagai bagian dari evolusi pertahanan negara, bukan nostalgia akan masa lalu militeristik. Indonesia membutuhkan kekuatan yang tidak hanya mampu berperang di garis depan, tetapi juga menjaga stabilitas di wilayah dan menguatkan ketahanan sosial.

Resistensi sebagian NGO terhadap Yonbang mencerminkan konflik ideologis yang belum selesai—antara ketakutan terhadap militer masa lalu dan ketidaksiapan menerima militer profesional di masa kini. Di tengah perang hibrida, bencana, dan ancaman kedaulatan, kita butuh keberanian untuk berpikir ulang: apakah kita ingin pertahanan yang kuat, atau terus hidup dalam trauma lama?

Bataliyon Teritorial Pembangunan Bukan Ancaman. Ia adalah jawaban.