Soekarno Mandor Romusa

foto: ilustrasi

finews,- Narasi yang menyebut presiden Sukarno sebagai mandor romusha ramai diperbincangkan di media sosial. Hal ini karena Sukarno terlibat dalam propaganda pengerahan romusha sebagai konsekuensi berkerja sama dengan Jepang.

Membahas peran Sukarno di masa pendudukan Jepang tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang terjadi ketika itu. Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan peristiwa besar bagi Sukarno maupun gerakan nasionalis.

Menurut John David Legge dalam Sukarno: A Political Biography, kedatangan Jepang tidak hanya menghancurkan kelangsungan kekuasaan Belanda tetapi juga membentuk kekuatan nasionalisme Indonesia dengan cara yang baru dan tak terduga.

“Bagi Sukarno, peristiwa ini mengakhiri masa pengasingannya, menghadapkannya pada persoalan-persoalan politik dan moral yang sulit, dan membawanya kembali ke pusat kehidupan politik –tidak lagi sebagai oposisi, melainkan sebagai wakil dari kelompok nasionalis,” tulis Legge.

Tindak-tanduk Jepang sejak awal abad ke-20 telah menarik perhatian banyak tokoh nasionalis. Kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia (1904-1905) meyakinkan mereka bahwa bangsa Asia mampu menumbangkan kekuatan Eropa yang mendominasi melalui kolonialisme.

Theodore Friend mencatat dalam Indonesian Destinies, pada 1929, Sukarno, seperti rekan seperjuangannya dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta, meramalkan terjadinya Perang Pasifik dan peluang yang mungkin muncul dari serangan Jepang ke Indonesia yang menjadi wilayah koloni Belanda.

“Jepang mendekati Sukarno dengan rasa hormat. Mereka ingin memanfaatkannya untuk mengatur dan menenangkan rakyat Indonesia. Di sisi lain, Sukarno ingin memanfaatkan Jepang untuk membebaskan Indonesia. Saling curiga, saling membutuhkan, penuh pertimbangan dalam sikap saling berhati-hati, mereka membuat kesepakatan untuk bekerja sama,” tulis Friend.

Sukarno menceritakan tawaran bekerja sama dari Jepang dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang disusun Cindy Adams. Fujiyama, Komandan Militer Kota Bukittinggi yang juga Komandan Tertinggi Tentara ke-25 dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, mengundang Sukarno untuk membicarakan maksud dan tujuan Jepang di Indonesia.

“Di gedung itu aku mengadakan pertemuan yang tidak banyak diketahui orang, tetapi sebenarnya sangat penting. Pertemuan terkenal, yang menentukan strategiku selanjutnya selama peperangan. Pertemuan yang sampai sekarang membuatku dicap sebagai kolaborator Jepang,” kata Sukarno.

Dalam pertemuan tersebut, Fujiyama mengisyaratkan apa yang selama ini dicita-citakan para nasionalis, termasuk Sukarno, yakni kemerdekaan. Akan tetapi, menurutnya, hal ini hanya dapat dicapai jika Indonesia bekerja sama dengan Jepang.

“Sebagai seorang patriot yang mencintai rakyatnya dan menginginkan kemerdekaan mereka, Anda harus menyadari bahwa Indonesia merdeka hanya dapat dibangun dengan bekerja sama dengan Jepang,” kata Fujiyama. “Kalau anda menjanjikan kerja sama yang total selama masa pendudukan kami, kami akan memberikan janji tidak bersyarat untuk membina kemerdekaan tanah air anda.”

Sukarno meminta Fujiyama memberikan jaminan jika dirinya bersedia membantu Jepang, dia akan diberikan kebebasan untuk memenuhi aspirasi rakyat, dan yang terpenting, untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Fujiyama menjamin pemerintah Jepang tidak akan menghalanginya.

“Baiklah… Kalau ini yang anda janjikan, aku setuju. Aku akan memberikan bantuan sepenuhnya. Aku akan melakukan propaganda untuk anda. Tapi hanya kalau itu berjalan menurut garis yang akan membebaskan Indonesia dan hanya dengan pengertian, bahwa sambil bekerja sama dengan anda, pada waktu yang bersamaan aku pun berjuang untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakyatku,” jawab Sukarno.

Sikap kooperatif Sukarno terhadap Jepang seringkali didasarkan pada keterlibatannya dalam perekrutan romusha. Hal ini cukup beralasan, sebab menurut Legge, walaupun Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin Sukarno dianggap sebagai langkah maju untuk pengembangan kekuatan rakyat dalam mewujudkan kemerdekaan, pada praktiknya Putera justru digunakan Jepang untuk memobilisasi dukungan dalam upaya perang Jepang melalui kerjasama dengan Sukarno dan para pemimpin nasionalis lainnya, di mana salah satunya mendukung program romusha.

Perekrutan romusha besar-besaran berkaitan dengan perubahan strategi Jepang di Perang Dunia II, dari aktif melakukan serangan menjadi fokus pada pertahanan. Akibatnya dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk mempercepat pembangunan sarana penunjang perang dan kebutuhan logistik di wilayah-wilayah yang diduduki Jepang.

Shigeru Sato menjelaskan dalam War, Nationalism and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-45, mobilisasi romusha dimulai segera setelah penyerahan Belanda, dan dalam banyak kasus, romusha bekerja dengan kontrak tiga bulan. Sebelum akhir tahun 1943, Jepang merekrut romusha tidak terampil melalui pangreh praja setempat dan mengiklankan lowongan untuk pekerja terampil melalui koran, radio, dan cara lainnya. Pada tahap awal ketika Jepang memobilisasi tenaga kerja secara ad hoc, upah yang diberikan kepada romusha relatif baik karena melalui jumlah pendapatan yang ditampilkan dalam iklan lowongan kerja itulah Jepang mencoba menarik minat para penduduk lokal untuk bekerja.

“Seorang penjahit di sebuah pabrik pakaian untuk Angkatan Darat Jepang di Cimahi menerima f.0,45 per hari pada tahun 1942 dan 1943. Tukang kayu kapal menerima antara f.0,70 dan f.1,70 tergantung pada keterampilan, menurut keputusan pada Desember 1942. Upah untuk pekerja tidak terampil tergantung pada jenis pekerjaan, tetapi setidaknya f.0,20 tanpa makanan,” jelas Sato.

Menurut L.J. Giebels dalam Sukarno: A Biography, pada mulanya baik Sukarno maupun Hatta memiliki pandangan positif terhadap romusha. Hatta menganggapnya sebagai langkah yang tepat untuk memerangi pengangguran, sementara bagi Sukarno, hal ini merupakan kontribusi yang besar untuk menciptakan Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, dan dia mengharapkan imbalan yang setimpal dari pihak Jepang. Namun, ketika inflasi terjadi selama tahun fiskal 1943, sebagai bagian dari tindakan kontra-inflasi, Jepang berusaha menjaga agar upah tenaga kerja relatif statis. Hal ini menyebabkan pendapatan yang diterima para romusha sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Di lain pihak, meningkatnya permintaan romusha membuat para pejabat daerah dibebankan kuota menyediakan tenaga kerja ini. Pedoman perekrutan romusha pun menjadi bersifat paksaan. Penduduk desa tidak bisa menolak. Selain itu, tak sedikit di antara mereka yang dijebak untuk memenuhi kuota yang dibebankan kepada pejabat daerah.

“Meskipun pedoman tersebut merekomendasikan pemilihan romusha yang adil dan penuh pertimbangan, kecil kemungkinan perekrutan berdasarkan daftar tersebut dilaksanakan secara efektif… proses perekrutan yang bersifat pemaksaan, lingkungan kerja yang seringkali sangat buruk, dan pengiriman gaji kepada keluarga romusha yang tidak berjalan lancar membuat kebijakan ini menjadi semakin tidak populer di kalangan masyarakat… Penghapusan satu pekerja tanpa pengiriman upah secara teratur merupakan pukulan berat bagi banyak keluarga,” jelas Sato.

Sementara itu, untuk menarik minat penduduk agar mau membantu Jepang memenangkan perang, Dai Nippon meminta bantuan Sukarno. Pada September 1944, Sukarno bersama kepala biro propaganda Hitoshi Shimizu –keduanya mengenakan celana pendek dan topi jerami di kepala– memimpin sebuah kelompok yang terdiri dari sekitar lima ratus tokoh terkemuka sebagai romusha sukarela untuk membantu pembangunan lapangan terbang di kawasan Bogor. Selama kampanye propaganda ini, sebuah foto Sukarno diambil yang kelak membayanginya dengan julukan kolaborator Jepang.

Sukarno juga mengunjungi tambang batu bara di Banten, tempat puluhan ribu romusha dipekerjakan. Dia melihat penderitaan romusha yang bekerja di tambang batu bara. Namun, pada saat yang sama, Sukarno menyadari bahwa jalan untuk mewujudukan kemerdekaan bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, menurut Legge, pembenaran Sukarno untuk dirinya sendiri adalah bahkan ketika melakukan hal-hal yang menyulitkan posisinya, dia sesungguhnya melakukan itu untuk melayani kepentingan jangka panjang nasionalisme Indonesia.

“Sukarno sekarang harus bermain catur di beberapa papan sekaligus. Kepada Jepang, dia harus menunjukkan dirinya sebagai sekutu yang setia dan pada saat yang sama membuat kemajuan dalam mewujudkan janji Koiso (Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, red.). Kepada para pemimpin nasionalis, priyayi, dan Masyumi, dia harus membuktikan bahwa janji Koiso bukanlah pepesan kosong. Dan di atas semua itu, dia harus mencegah erosi kepemimpinannya sendiri. Orang-orang Jawa, yang mengaitkan Sukarno dengan semua tindakan Jepang yang tidak populer, telah mulai membicarakan Sukarno sebagai ‘pelayan Jepang’,” tulis Giebels.

Sikap Sukarno dalam melayani Jepang, yang bertolak belakang dengan prinsipnya tidak mau bekerja sama dengan Belanda, menjadi sasaran kritik sejumlah rekan nasionalisnya. Mereka menganggap Sukarno terlibat terlalu jauh dengan Jepang, sehingga melupakan perjuangan untuk kepentingan bangsa.

Namun, dalam pandangan Sukarno, Jepang telah membuka jalan untuk kejayaan Asia. Kemenangan Jepang atas Amerika dan negara-negara Eropa dalam Perang Dunia II tak hanya akan menumbangkan imperialisme Barat di wilayah Asia, tetapi juga memungkinkan Indonesia mewujudkan kemerdekaannya. Pandangan ini berlawanan dengan keyakinan para tokoh nasionalis yang mengkritik Sukarno. Mereka, terutama kelompok nasionalis yang bergerak di bawah tanah, memandang Jepang sama berbahayanya dengan fasisme dan imperialisme Barat. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Indonesia memperjuangkan sendiri kemerdekaannya tanpa bantuan Jepang.

Menyikapi hal ini, Sukarno menjelaskan, ada dua jalan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pertama, cara revolusioner, yang akan menimbulkan pertumpahan darah dan korban besar seperti pemberontakan PETA. Sedangkan kedua melalui bekerja sama dengan Jepang, sembari mengonsolidasikan kekuatan seluruh rakyat Indonesia dan menunggu momen yang tepat untuk menekan musuh. Sukarno memilih cara kedua.

“Bagiku, dengan memberikan kepada Jepang sesuatu yang mereka perlukan, sebagai imbalannya aku dapat menuntut lebih banyak konsesi yang kuperlukan, yaitu cara yang positif menuju kemerdekaan… Pasti ada korban dalam setiap peperangan. Tugas seorang panglima adalah memenangkan peperangan, bahkan bila itu terpaksa mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran di perjalanan. Bila aku terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, aku akan melakukannya. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup. Sebagai pemimpin dari negeri ini aku tidak dapat memberi tempat pada rasa sensitif yang berlebihan,” kata Sukarno.

Memang tak semua hal yang diupayakan Sukarno untuk kepentingan rakyat disetujui oleh Jepang. Namun, dalam beberapa kasus, sikap kooperatif Sukarno membantunya menyelamatkan rekan nasionalis dari kematian. Hal ini disampaikan Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku. Sekembalinya Hatta, Sukarno, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Tokyo, dia mendapat kabar bahwa Amir Sjarifuddin akan dieksekusi mati oleh Jepang. Mendengar hal itu, Hatta dan Sukarno bertemu dengan Gunseikan untuk membicarakan nasib Amir. Keduanya menjelaskan bahwa Amir adalah pemimpin rakyat dan pengaruhnya dalam masyarakat sangat besar. Apabila dia dihukum mati, rakyat akan membenci militer Jepang. Oleh karena itu, Amir lebih baik dihukum penjara seumur hidup saja. Permintaan Sukarno dan Hatta disetujui oleh Gunseikan.

Sementara itu, soal romusha, seperti yang diungkapkan Sukarno kepada sejumlah mahasiswa yang mengkritiknya sebagai kolaborator Jepang, memang ada harga mahal yang harus dibayar untuk kemerdekaan, tetapi itulah tawar-menawarnya.

“Kita baru saja diizinkan menyanyikan lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, pada setiap pertemuan. Kita baru saja diizinkan mengibarkan bendera kita Sang Merah Putih yang keramat itu berdampingan dengan bendera Jepang. Kita baru saja diizinkan membentuk Chou Sangi In, sebuah badan sipil Indonesia yang akan bertindak sebagai penasihat Pemerintah Militer Jepang… Dengan setiap rambut di tubuhku, aku hanya memikirkan tanah airku… Tidak jadi soal kalau ada orang yang menyebutku kolaborator, karena aku tidak perlu membuktikan kepada mereka atau kepada dunia apa yang telah kulakukan… Sejarahlah yang akan membersihkan namaku,” kata Sukarno.*

 

*kisah para ulama dan sejarah nasional