foto : ilustrasi (tribunnusantara
finews, — Pada awal abad ke-20, di tanah Madura yang panas dan penuh semangat, hiduplah seorang lelaki gagah bernama Sakera. Ia bukan orang sembarangan. Bukan bangsawan, bukan pula pejabat, melainkan seorang tukang kebun sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya, Sakera menyimpan api perjuangan yang menyala dalam hatinya.
Sakera dikenal sebagai pendekar yang sakti mandraguna. Ia mengenakan sarung kotak-kotak, ikat kepala khas Madura, dan selalu membawa celurit, senjata yang menjadi simbol perlawanan. Warga desa menghormatinya, sementara para penjajah Belanda menggigil setiap kali mendengar namanya.
Perjuangan Melawan Penindasan
Pada masa itu, rakyat Madura hidup dalam kesengsaraan. Pajak tinggi, kerja paksa, dan perlakuan sewenang-wenang dari Belanda membuat rakyat menderita. Sakera, yang menyaksikan penderitaan itu, tak tinggal diam. Ia mulai melawan. Ia mencuri hasil rampasan Belanda dan membagikannya kepada rakyat miskin. Layaknya Robin Hood dari Madura, ia menjadi pahlawan rakyat kecil.
Sakera tidak hanya kuat dalam bertarung, tapi juga cerdas. Ia sering berpindah-pindah, sulit ditangkap. Ia tak kenal takut. Dengan celurit di tangan dan keberanian di dada, ia menyerbu pos-pos penjajah dan membebaskan tawanan.
Pengkhianatan dan Akhir Hidup
Namun, perjuangan Sakera tidak berjalan mulus selamanya. Karena kelicikan Belanda dan pengkhianatan dari orang dekatnya, Sakera akhirnya ditangkap. Ia disiksa, dipenjara, dan akhirnya dihukum mati.
Konon, saat akan dieksekusi, Sakera berkata dengan lantang:
“Lebih baik mati terhormat sebagai pejuang, daripada hidup sebagai budak penjajah.”
Rakyat Madura berduka. Namun, kisah keberaniannya terus dikenang. Nama Sakera menjadi legenda, simbol perlawanan, dan inspirasi bagi generasi berikutnya untuk berani melawan ketidakadilan.
Penutup
Sakera mungkin telah tiada, tapi semangatnya tetap hidup dalam jiwa rakyat Madura. Ia bukan hanya tokoh sejarah, tapi juga lambang keberanian, keadilan, dan perjuangan yang tak kenal lelah. (*)








