Masjid KH. Abdurrahman Tegalrejo , Peninggalan Pengikut Pangeran Diponegoro

foto : masjid KH. abdurrahman di desa tegalrejo

finews,Magetan – Masjid kuno Tegalrejo adalah salah satu masjid peninggalan pengikut Diponegoro , didirikan oleh KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi dengan kondisi bangunan masih asli hingga kini.

Jika dilihat sekilas, bangunan Masjid KH. Abdurrahmah Tegalrejo memiliki arsitektur bangunan gabungan dari Jawa dan Islam. Bangunan utamanya berbentuk seperti rumah joglo, dengan atap berbentuk prisma segi empat yang biasanya disebut dengan Meru.

Konon, kayu yang digunakan untuk membangun masjid ini didatangkan dari hutan Kedungpanji, Magetan secara gaib, begitu juga dengan batu diatas meru yang diambil dari Sarangan, Magetan.

Sumur Kuno

Di depan masjid terdapat sumur yang tidak pernah mengering meski musim kemarau panjang. Konon dulu saat Mbah Kyai Abdurrahman berguru di Mekah, beliau membuat rajah (tulisan berkhasiat) dan diceburkan ke sumur Zam – Zam.Rajah itu muncul di sumur yang dibuatnya di Tegalrejo.Hingga saat ini dipercaya bertuah dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit atau gangguan jiwa .

Pemeliharaan dilakukan berkala, hingga soko dan pintu yang sebetulnya hasil tatahan kasar tidak tampak. Yang unik adalah atap pada cungkup Makam Eyang Abdurrahman terbuat dari genting tanah liat yang berbentuk sisik ikan dengan pembuatannya yang ditetel seperti membuat kue jadah ketan / tidak diinjak-injak kaki, hal ini untuk menghormati beliau.

foto : bedug di masjid kuno tegalrejo

Usai berperang melawan penjajah Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk di masjid ini.Satu kesepakatan para pengikut Diponegoro adalah adanya penanda di lokasi masing-masing sebagai perwujudan semangat persatuan dan perlawanan terhadap kemungkaran.

Penanda itu adalah adanya 2 pohon sawo di depan tinggal masing-masing. Pohon sawo ini adalah filosofi dari kalimat “sawwu sufufakum” yang artinya” rapatkan barisanmu”

KH Abdurrahman, nama kecilnya adalah Bagoes Bantjalana, adalah putra Kyai Achmadija seorang penghulu di kabupaten Pacitan. Sedangkan Achmadija adalah saudara Raden Djajaniman atau disebut juga Kanjeng Djimat Bupati Pacitan yang ke 12 menjabat mulai tahun 1840.

Bagus Bantjalana masa mudanya sebelum berangkat Nyantri, sowan ke Mbah Kaliyah, di dusun Serut, (sekarang wilayah Glodok Magetan), dan dibekali karuk (makanan dari nasi aking) disebar dan suwo (lidi aren) yang mempunyai perlambang bahwa suatu saat diberi amanah oleh Gusti Allah untuk menyebarkan ilmu agama.

Bagus Bantjalana Nyantri di Ampel Denta Surabaya lebih kurang 7 tahun dan kembali ke kabupaten Pacitan, kemudian dikirim ke kraton Surakarta untuk magang menjadi Narapraja di Kasunanan.

Namun Bagus Bantjalana merasa jika menjadi Narapraja di lingkungan kraton seperti ini maka ilmu agama yang didapat saat nyantri kurang bermanfaat bagi masyarakat luas hingga mohon ijin pada Sinuwun untuk kembali ke pacitan.

Dalam perjalanannya ke timur Bagus bersemedi di Mojosemi gunung Lawu yang petilasannya “pertapan Bantjalana”, versi yang berkembang di wilayah Karanganyar beliau muksa.

Saat di gunung Lawu Bagus memandang ke timur terlihat “sulak putih nyundul angkasa”, kemudian minta ijin pada Bupati Magetan yang juga masih kerabatnya yaitu: “Raden Tumenggung Sosrowinoto” untuk membabat hutan yang kini menjadi pemukiman padat.

Bupati Magetan saat itu memberi piranti berupa 4 ekor lembu dan 2 kepel (kuda) sebagai alat tranportasi.

Selanjutnya Bagus Banjatlana membuat struktur pemerintahan tingkat Kabekelan sendiri,diantaranya yang paling tinggi disebut Kyai Nadir yang memegang wilayah, kemudian Kyai Sentana yang mempunyai bidang keahlian sendiri-sendiri, juru pasucian atau naip dan juga magersari yang bertugas mengurusi pertanian.

Pesan Eyang Abdurrahman, “barang siapa walaupun Pajang Metaraman atau pidakpedara`an jika ikut dawuhku maka akan saya akui cucuku, namun walaupun cucuku sendiri jika tidak ikut dawuhku maka tidak saya akui” ini menunjukan sikap eyang Abdurrahman yang sangat keras.

Saat berjuang membela tanah air dalam perang perang Jawa 1825-1830 bertindak sebagai pengawal Pangeran Diponegoro. KH Abdurrahman atau Bagus Bantjalanawafat pada 6 April 1875 Masehi atau 29 Safar 1292 Hijriyah.

Peristiwa Unik

Pada peristiwa 1948 saat Tegalrejo dipimpin Kyai Akhmad Bakin, pendopo Kyai Tegalrejo pernah diserang gerombolan PKI Muso dengan dilempari beberapa granat mengenai kendi-kendi tempat wudhu, namun tak satupun yang meledak. Mbah Imam (kyai sepuh waktu itu sedang duduk-duduk santai di kursi sambil ngomong “siapa ya.. yang melempari batu seperti anak kecil” dan seolah olah granat itu jadi batu tidak bisa meledak ). Mulai saat itu pesantren Tegalrejo tidak pernah diganggu gerombolan PKI Muso.

Saat ini Masjid dan Ponpes Tegalrejo di pimpin Mbah Kyai Gunawan Hanafi keturunan ke-5 dari Kyai H.Abdurrahman pendiri Tegalrejo.

Kyai H. Abdurrahman di kenal sebagai ulama / Mursyid Thariqat Syattariyah, hingga kini Tegalrejo merupakan salah satu pusat Thariqah Syattariyah.(totok)