foto: seminar nasional/ smartnews
finews, Bandar Lampung – Sebagai daerah penghasil Ubi Kayu Pemerintah Provinsi Lampung terus berupaya memperbaiki tata kelola dan peningkatan produksi maupun kualitas ubi kayu.
Hal tersebut ditegaskan oleh Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Provinsi Lampung, Mulyadi Irsan saat menjadi narasumber dalam seminar nasional yang mengusung tema ‘menegakkan keadilan dalam tata niaga singkong: Aspek Penegakan Hukum terhadap praktik pelanggaran tata niaga harga singkong di Lampung’ bertempat di Auditorium Prof. Abdul Kadir Muhammad Fakultas Hukum (FH) Unila, Sabtu, (26/7)
Mulyadi menyoroti berbagai upaya dan dukungan semua pihak, baik itu petani, industri, pemerintah maupun akademisi dalam menciptakan tata niaga ubi kayu yang adil dan berkelanjutan.
“Kita ingin masyarakat happy, industri happy, pemerintah happy, bahkan perguruan tinggi juga happy. Bagaimana merangkai ini, ini bukanlah hal yang mudah karena perlu kehadiran kita semua terhadap ubi kayu,” kata dia.
Sejumlah upaya telah dilakukan oleh Pemprov Lampung, salah satunya melalui Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga dasar ubi kayu sebesar 1.350 per kilogram. Namun, implementasi kebijakan tersebut dinilai masih menghadapi tantangan di lapangan, khususnya dalam rantai distribusi antara petani dan industri.
Pemerintah Provinsi Lampung juga tidak memungkiri bahwa produk ubi kayu saat ini mengalami lonjakan hasil panen sehingga membuat harga dilapangan tidak terkendali.
“Memang kenyataannya, bahwa di Lampung oversupply, ini menyebabkan harga dilapangan tidak terkendali. Oleh sebab itu, pemerintah kedepan sedang menyusun, yang dalam jangka panjang membutuhkan peran riset terutama bu Rektor Unila, kita ingin kedepan yang dimaksud ubi kayu adalah jenis varietas Kasesa yang secara umum memang tidak bisa dikonsumsi langsung,” jelasnya
Peran perguruan tinggi dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga sangat diharapkan dalam mendorong peningkatan varietas unggul seperti Kasesa yang patinya lebih dimanfaatkan.
Pemprov Lampung juga mendorong terbentuknya pola kemitraan antara industri dan petani melalui koperasi atau Bumdes, dengan tujuan menciptakan rantai pasok yang transparan dan berkeadilan.
Edukasi kepada petani tentang pemilihan bibit unggul, teknik pemupukan yang tepat, hingga waktu panen yang ideal, disebut sebagai faktor penting untuk meningkatkan mutu hasil panen dan nilai jual.
“Ini yang kita harapkan kedepan adanya bibit unggul yang dihasilkan dari peran riset. Perlu diedukasi ke depan bagaimana adanya kemitraan, jadi industri bisa hadir bisa mendampingi para petani. Apa yang bisa menghasilkan patinya unggul ini yang harus kita pikirkan ke depan,” lanjutnya.
Pemerintah Provinsi Lampung juga memprioritaskan penguatan regulasi tata niaga ubi kayu. Selain itu, hilirisasi produk turunan ubi kayu perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah dan menyerap lebih banyak hasil produksi petani.
“Terkait dengan adanya keadilan atau pelanggaran terhadap Tata Niaga ini menjadi perhatian ke depan kami mohon dukungannya.
Bagaimana petani ubi kayu ini ke depan mereka didampingi sehingga keberadaan petani ini menjawab terhadap kesejahteraan Provinsi Lampung,” pungkasnya.
Selain Gubernur Lampung, juga menghadirkan sejumlah narasumber lain yaitu Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan, Kapolda Lampung Helmy Santika, Kajati Lampung Danang Suryo Wibowo yang diwakili oleh Asintel Kejati Lampung Fajar Gurindro, Ketua DPD ARUN Lampung Christian Chandra.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut Rektor Universitas Lampung (Unila), Lusmeilia Afriani, dan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Diketahui produksi ubi kayu (singkong) di Lampung pada tahun 2024 mencapai 7,5 juta ton.Jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan industri tapioka, sedangkan sebagian kecil untuk konsumsi.
Sentra produksi singkong di Lampung meliputi: kabupaten Lampung Utara, kabupaten Lampung Timur, kabupaten Tulang Bawang Barat, kabupaten Tulang Bawang, kabupaten Lampung Tengah.
Kabupaten Lampung Tengah menjadi daerah dengan produksi singkong terbesar, mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun. (*)