Hakekat Janji

Opini/Artikel557 Views

foto : ilustrasi

finews, – Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak janji yang diucapkan oleh manusia yang tidak terwujud. Hal ini disebabkan manusia terkadang menjanjikan apa yang ia sendiri tidak dapat pastikan.

‎Janji adalah sesuatu yang, tidak bisa tidak, harus ditepati. KBBI Daring menyebutkan ‘janji’ adalah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Ada ‘Kesediaan’. Ada ‘Kesanggupan’.

Kesediaan

‎’Kesediaan’ dari kata ‘sedia’, yakni siap; sudi; rela; mau. Perhatikanlah, bahwa di sini bukan ‘ingin’, tetapi ‘MAU’. ‘Mau’ adalah kehendak yang sungguh-sungguh; tekad.

‎Sedangkan kata ‘ingin’ itu sebatas harapan; hasrat; dan juga bisa berarti ‘mau’ namun ‘mau’ dalam konteks ‘ingin’, yakni ketika apa yang diinginkan sudah pasti akan didapatkan, di situ arti ‘mau’ dipakai untuk kata ‘ingin’.

Karena ‘janji’ itu berarti ‘kesediaan’ yang ‘mau’, maka itu berarti pengucap janji akan sungguh-sungguh mengerjakan janji itu. Siap melakukan itu; sudi melakukan itu; mau melakukan itu, dan rela melakukan itu.

‎Kesediaan yang ‘mau’ memberi penekanan pada “tindakan mengerjakan mau” itu. Ada aksi, ada kerja, ada upaya, ada usaha, ada perbuatan yang dilakukan untuk mewujudkan janji itu. Jadi, bukan sekadar ucapan, melainkan ada perbuatan untuk memenuhi janji.

Dan, yang melakukan itu adalah si pengucap janji itu. Ia yang berucap, ia yang mewujudkan itu. Ia adalah subjek pengucap janji, ia pula adalah subjek pelaksana penggenapan janji itu. Pengucap janji adalah pelaksana janji.

Kesanggupan

Selain ‘kesediaan,  janji juga adalah ‘kesanggupan’. Kesanggupan dari kata ‘sanggup’: mampu; cakap; dapat. Berani dijanjikan, sebab diri memiliki kesanggupan atau kemampuan atau kecakapan untuk dapat mewujudkan janji itu.

Karena janji mengandung pernyataan kesanggupan, maka kesanggupan mendahului janji. Kesanggupan harus lebih dahulu ada sebelum janji itu ada. Ada janji karena ada kesanggupan. Bukan berucap janji tanpa adanya kesanggupan untuk itu.

Oleh sebab itu pengucap janji harus terlebih dahulu mengenali diri sendiri: apakah ia punya kesanggupan untuk itu; apakah ia punya kemampuan melakukan itu; apakah ia punya kecakapan mengerjakan janji itu.

‎Bila diri belum punya kesanggupan; kemampuan; kecakapan, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah punyai dulu kesanggupan itu; miliki dulu kemampuan untuk itu; peroleh dahulu kecakapan untuk mengerjakan janji itu. Dengan itu barulah janji dapat digenapi.

‎Janji mensyaratkan adanya kesanggupan terlebih dahulu. Dengan demikian, tidak ada alasan janji tidak terwujud karena tidak mampu atau tidak sanggup atau tidak cakap atau tidak dapat. Sebab pada janji itu sendiri sudah ada kesanggupan.

‎’Kesanggupan’ di sini adalah kesanggupan dari si pengucap janji, bukan kesanggupan orang lain. Dengan demikian, ketika seseorang berkata: “Saya berjanji”, maka itu berarti: “Saya sanggup”. Ia berani berkata: “Saya berjanji” karena ia tahu bahwa kesanggupan itu ada padanya. Kesanggupan pribadi.

‎Jika merupakan kesanggupan kelompok, maka subjek yang dipakai adalah ‘kami’: “Kami berjanji”. Itu berarti kesanggupan bukan hanya ada pada diri sendiri atau bukan hanya ada pada ‘Saya’, tapi ada pada ‘Kami’. Kesanggupan kolektif.

Jadi, seseorang tidak dapat berkata “Saya berjanji” bila ia sendiri belum memiliki kesanggupan untuk itu. Sebab, janji adalah kesediaan dan kesanggupan.

‎Kesediaan dan Kesanggupan

Kesediaan’ DAN ‘kesanggupan’ adalah dua hal yang harus ada bersama-sama dalam janji.

Tidak bisa hanya ‘kesediaan’. Juga, tidak bisa hanya ‘kesanggupan’. Tidak bisa kesediaan tanpa kesanggupan. Tidak bisa pula kesanggupan tanpa kesediaan. Kedua-duanya harus ada bersama-sama.

‎Bila kedua unsur kesediaan (mau) dan kesanggupan tidak ada secara bersama-sama, maka janganlah mengucapkan janji. Karena dengan begitu, Anda menjanjikan apa yang Anda sendiri tidak dapat pastikan.

Kepastian yang dapat dipastikan oleh manusia pada sebuah janji adalah memiliki kesediaan (mau) dan kesanggupan secara bersamaan.

‎Yang menarik dalam suatu ‘janji’ adalah, hal kesanggupan bisa dilihat, tetapi hal kesediaan hati apakah sungguh-sungguh atau tidak, itu tidak bisa dilihat oleh mata pada saat janji itu diucapkan. Karena itu ada di dalam hati si pengucap janji. Hanya ia dan Tuhan saja yang tahu.

‎Tinggal dilihat saja. Bila janji tak kunjung terbukti, padahal ada kesanggupan untuk melakukan itu, maka itu berarti, ketika mengucapkan janji itu, ia tidak punya ‘mau’ di situ, hanya sekadar ‘ingin’. Ia tidak bersungguh-sungguh hati dengan ucapan janjinya. Akhirnya, janji hanyalah sebatas kata-kata.

‎#Kompasiana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *