Bank Dunia: Wanita Malaysia Pilih Tinggalkan Karier usia 30

foto;ilustrasi

finews,Jakarta— Meningkatnya angka perempuan Malaysia yang keluar dari dunia kerja setelah usia 30 tahun memunculkan kekhawatiran serius terhadap potensi ekonomi yang belum tergarap.

Hal ini terungkap dari studi perdana Bank Dunia yang melibatkan 1.500 perusahaan di Malaysia.

Studi tersebut mengungkap komitmen keluarga dan kebijakan cuti melahirkan menjadi penghalang utama dalam perekrutan perempuan.

Sebanyak 58 persen perusahaan menyebut tanggung jawab keluarga sebagai hambatan, dan 54 persen melihat cuti melahirkan sebagai beban operasional.

Dalam laporannya, Bank Dunia mencatat kehadiran perempuan dalam angkatan kerja menurun signifikan seiring bertambahnya usia.

Kelompok usia 21–30 tahun mencakup 41 persen karyawan perempuan, turun menjadi 32 perswn di kelompok usia 31–40 tahun, 17 peesen pada usia 41–50, dan hanya 10 persen bagi mereka di atas 50 tahun.

Judith Green, Country Manager Bank Dunia untuk Malaysia, menyatakan minimnya dukungan kerja seperti fleksibilitas dan layanan penitipan anak membuat perempuan enggan kembali bekerja setelah membangun keluarga.

“Tanpa kebijakan kerja yang mendukung peran pengasuhan, perempuan akan cenderung meninggalkan pasar kerja secara permanen,” kata Green saat peluncuran laporan, dilansir Channel News Asia, Rabu (23/7).

Data juga menunjukkan perempuan Malaysia jarang kembali ke dunia kerja setelah jeda karier.

Ini berbeda dari tren global, di mana banyak perempuan kembali bekerja setelah anak-anak tumbuh.

Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja pria di Malaysia pada tahun 2024 mencapai 83,4 persen, jauh di atas tingkat partisipasi perempuan sebesar 56,6 persen.

Green menekankan ketimpangan ini tak hanya menjadi masalah keadilan, tetapi juga kerugian ekonomi nasional.

“Perempuan Malaysia secara rata-rata lebih berpendidikan dibanding laki-laki, namun keterwakilan mereka di pasar tenaga kerja rendah. Ini adalah peluang ekonomi yang hilang,” ujarnya.

Menurut Green, jika tingkat partisipasi perempuan di Malaysia menyamai negara-negara maju, pendapatan per kapita nasional dapat meningkat hingga 26,2 persen, atau RM9.400 (US$2.200) per tahun.

Meskipun tantangannya besar, studi tersebut menunjukkan adanya upaya dari beberapa perusahaan untuk memperbaiki situasi.

Sekitar 54 persen perusahaan telah menerapkan sistem kerja fleksibel atau hybrid, dan 53 persen menyediakan fasilitas penitipan anak di lokasi kerja atau di dekatnya.

Selain itu, 47 perswn menawarkan cuti keluarga atau orangtua yang dibayar.

Dalam diskusi panel peluncuran laporan, Hamidah Naziadin, mantan Chief People Officer CIMB Group, menyampaikan kebijakan ramah keluarga bukan sekadar pengeluaran, melainkan investasi jangka panjang.

Selama menjabat di CIMB, Hamidah berhasil mendorong cuti melahirkan enam bulan dan cuti ayah satu bulan, melebihi ketentuan standar Malaysia, 98 hari untuk ibu, 7 hari untuk ayah.

“Kebijakan seperti ini bukan hanya membangun citra perusahaan, tapi juga meningkatkan produktivitas,” ujarnya.

Hamidah juga menekankan pentingnya rasa saling percaya dalam menerapkan kebijakan kerja fleksibel.

Sementara itu, Nazrul Aziz, Chief Strategy Officer di TalentCorp, lembaga di bawah Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia, menyatakan tantangan terbesar justru dihadapi oleh perusahaan kecil dan menengah (MSME), yang mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja.

“Kalau ingin mengubah ekosistem ketenagakerjaan, kita harus menyasar sektor MSME, tentu dengan dukungan dan panduan dari perusahaan besar,” ujar Nazrul.

Dengan perubahan demografis yang menyebabkan menyusutnya populasi usia kerja sejak 2020, laporan Bank Dunia menyerukan intervensi strategis untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, salah satunya melalui peningkatan partisipasi kerja perempuan. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *