Jaminan Sosial Bagian Penting Strategi Pembangunan menuju Indonesia Negara Maju 2045

Nasional35 Views

foto : ilustrasi

finews, Jakarta – Jaminan sosial menjadi bagian penting dari strategi pembangunan jangka panjang. Kepala Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Eko Nugroho menyebutkan bahwa jika Indonesia ingin menjadi negara maju pada 2045, jaminan sosial harus dilihat sebagai kebutuhan publik.

“Ekonomi yang kuat hanya bisa dibangun jika rakyatnya terlindungi. Jaminan sosial termasuk dalam upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan produktivitas, dan pengembangan SDM,” ucap Agus dalam kegiatan Research Collaboration and Sharing #14 “Optimizing the Role of Social Security for People’s Economy Actors to Support Advanced Indonesia 2045” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan (PR KKEK) BRIN, Selasa (7/5).

Agus menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, terutama bagi pelaku usaha kecil, koperasi, dan pekerja informal. Forum ini diharapkannya menjadi wadah kolaborasi nyata melalui riset bersama, program percontohan, hingga inovasi kebijakan yang berorientasi pada masyarakat dan masa depan.

“Forum ini mencerminkan komitmen BRIN untuk mendorong dialog berbasis riset antara peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan. Kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan dan Universitas Kansai Jepang diharapkan mampu menghadirkan strategi dan perspektif global dalam memperkuat perlindungan sosial di Indonesia,” jelas Agus.

Selaku pembicara kunci, Zainudin, Direktur Perencanaan Strategis dan Teknologi Informasi BPJS Ketenagakerjaan menekankan pentingnya transformasi jaminan sosial dalam mendukung ekonomi kerakyatan yang inklusif, sebagai prasyarat menuju Indonesia Emas 2045. Menurutnya, jaminan sosial harus menjadi bagian dari strategi nasional dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan teknologi, isu geopolitik, hingga krisis iklim.

Zainudin mengungkapkan, mayoritas pekerja Indonesia berada di sektor informal, terutama di pedesaan, yang sangat rentan secara ekonomi dan sosial. Ia menyebutkan hanya 16 persen pekerja informal yang telah terlindungi, jauh tertinggal dibandingkan sektor formal yang cakupannya telah mencapai 87 persen.

Mengadopsi model Jepang, BPJS Ketenagakerjaan telah meluncurkan program Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (Perisai) agen perlindungan sosial berbasis desa. Program ini dinilai berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat desa terhadap jaminan sosial. Tak hanya perlindungan, BPJS Ketenagakerjaan juga mendorong pemberdayaan dan pendidikan. Dana tersebut banyak dimanfaatkan untuk pendidikan anak, membuka usaha, hingga pelunasan utang.

Meski begitu, Zainudin mengakui bahwa total aset jaminan sosial Indonesia baru mencapai 6,8 persen dari PDB. Ini jauh tertinggal dari negara-negara maju. Ia menyebut, transformasi ini harus didukung kolaborasi multipihak, digitalisasi layanan, dan riset berbasis data agar cakupan perlindungan semakin luas dan merata. “Kami yakin, jaminan sosial adalah fondasi menuju masyarakat sejahtera dan tangguh. Dengan perlindungan, pemberdayaan, dan pendidikan yang tepat, kita bisa wujudkan Indonesia Emas,” terangnya.

Irwanda Wisnu Wardhana, Kepala PR KKEK menjabarkan bahwa para ahli sering bicara soal pertumbuhan ekonomi, investasi, dan inovasi digital. Tapi, tak ada gunanya negara maju jika rakyatnya masih hidup dalam kerentanan ekonomi. Sementara, lebih dari 120 juta warga Indonesia menggantungkan hidup pada UMKM. Banyak dari mereka, hanya satu sakit atau satu kecelakaan dari jurang kemiskinan.

“Itulah pentingnya jaminan sosial. Bukan hanya hak hukum, tapi alat transformatif untuk melindungi, memberdayakan, dan mengangkat ekonomi rakyat. Masalahnya, bagi banyak pekerja informal, program jaminan sosial terasa jauh, rumit, dan mahal. Alhasil, saat kesulitan datang, mereka justru terjebak utang dari pinjaman online,” imbuhnya.

Arief Dahyan Supriadi, Deputi Aktuaria dan Riset Jaminan Sosial-BPJS Ketenagakerjaan menambahkan bahwa pihaknya menghadapi tantangan besar dalam menjangkau sektor informal. Salah satunya, data yang tersebar di banyak instansi dan belum terintegrasi. “Padahal, banyak pekerja informal sudah aktif secara digital yang bertransaksi di pasar daring dan dompet elektronik. Jika data bisa disatukan, mereka bisa dilibatkan lebih mudah,” ujarnya.

Pelajaran bisa diambil dari Jepang, seperti yang dipaparkan Shigenori Ishida Profesor bidang Asuransi, Universitas Kansai Jepang. Dituturkannya, Jepang kini mulai menggeser sistem jaminan sosial berbasis keluarga ke individu, demi mencakup pekerja paruh waktu dan non-reguler. Jepang menyadari, cakupan jaminan sosial harus diperluas agar perlindungan tak hanya milik pegawai tetap.

Sementara itu, di Indonesia, kendala keuangan menjadi penghalang utama ekspansi jaminan sosial. Program pensiun dan santunan kematian diprediksi mengalami defisit. Solusinya, skema harus didesain ulang agar menarik bagi generasi muda, tidak hanya usia tua.

Irwanda lalu menambahkan contoh nyata keberhasilan. “Di Blitar, misalnya, koperasi perajin batik yang mendaftar ke BPJS Ketenagakerjaan mampu bertahan saat salah satu anggotanya mengalami kecelakaan. Tanpa harus menjual aset, keluarga tetap bisa hidup layak,” ujarnya.

Jadi, jaminan sosial bukan beban negara, tapi investasi jangka panjang. Sama seperti subsidi pupuk untuk ketahanan pangan. Subsidi premi jaminan sosial adalah bentuk perlindungan produktivitas. Lalu, negara-negara seperti Brasil dan Korea Selatan berhasil membangun kelas menengah dengan menjadikan jaminan sosial sebagai infrastruktur nasional.

Sahat Silalahi, periset PR KKEK BRIN menyoroti pentingnya tiga pilar utama dalam memperkuat sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia. Yaitu kesederhanaan regulasi, kesinambungan pendanaan, dan kolaborasi antar-lembaga.

Ia menekankan perlunya regulasi yang mempermudah auto-enrollment pekerja informal dalam program BPJS Ketenagakerjaan. “Kesederhanaan seperti di Jepang menjadi kunci agar jaminan sosial dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya mengutip pengalaman Ishida.

Sahat juga menilai bahwa arsitektur kelembagaan saat ini masih terlalu kompleks. Karena melibatkan banyak aktor seperti Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI/BP2MI), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Ia mendorong adanya penyederhanaan demi efektivitas pelaksanaan jaminan sosial yang berkelanjutan.

Sementara itu, Ono dari Federasi Sharoushi Jepang membagikan pengalaman negaranya dalam memperluas cakupan perlindungan bagi pekerja informal dan gig economy. Ia menekankan pentingnya pendekatan bertahap serta peran social capital tokoh masyarakat lokal yang dipercaya dalam meningkatkan partisipasi.

“Teknologi memang penting, tapi pendekatan manusiawi tetap tak tergantikan untuk membangun kepercayaan,” tuturnya. Ia juga merekomendasikan sistem enrollment khusus untuk pekerja mandiri seperti tukang, pengemudi daring, dan pekerja lepas lainnya.

Diskusi ini menjadi bagian dari upaya lintas pihak, termasuk BRIN, BPJS Ketenagakerjaan, dan Universitas Kansai Jepang dalam merumuskan model perlindungan sosial yang inklusif dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045. (*)

* brin.go.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *