foto: istimewa
finews, Jakarta – Usai dilantik sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, pada Senin (17/7) lalu, Kominfo berencana akan membentuk badan pengawas media sosial
Meskipun badan pengawas media sosial yang akan dibentuk tersebut dijamin akan menjamin kebebasan berekspresi, namun menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), usulan tersebut sarat dengan bibit masalah.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar mengungkapkan bahwa format lembaga ini tak beda dengan panel konten internet bentukan Menkominfo sebelumnya yang tidak efektif.
Diketahui saat ini Kemenkominfo sebenarnya secara aktif sudah melakukan pembatasan dan pemblokiran konten internet, melalui mekanisme layanan aduan konten.
Dengan adanya badan pengawas, maka bisa dibilang Kemenkominfo akan melakukan over blocking dan hal ini merupakan tindakan yang sangat membatasi ruang berekspresi masyarakat.
Wahyudi menambahkan pembatasan konten internet, konten media sosial, melalui mekanisme penapisan atau pemblokiran, boleh dilakukan negara. Akan tetapi, mesti memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan HAM.
Adapun salah satu kaidah formal dalam pembatasan ekspresi adalah prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Kaidah itu juga mengacu pada pasal 28 J ayat 2 UUD 1945, yang mengamanatkan, perumusan cakupan pengurangan hak kebebasan ekspresi, hanya mungkin dilakukan berdasarkan undang-undang, bukan peraturan di bawahnya.
Kemenkominfo juga harus tegas dalam merumuskan limitatif dan definitif mengenai pengurangan akses yang secara hukum dapat dibenarkan.
“Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan,” jelas Wahyudi seperti dikutip Validnews.id.
Tidak hanya dengan prinsip prescribed by law saja, pembatasan terhadap konten harus pula tunduk pada prinsip tujuan yang sah. Prinsip-prinsip tersebut yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), guna menghindari praktik pembatasan konten yang sewenang-wenang.
Sekedar informasi saja, dalam pasal 40 ayat 2b UU ITE, tidak disebutkan secara pasti jenis-jenis konten apa saja yang melanggar undang-undang dan ancaman bahaya. Sejauh ini, menurut Wahyudi, UU ITE juga belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan. Termasuk, peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut.
Selain itu, melalui keterangan resminya, ELSAM mengungkapkan bahwa: “Ini [badan pengawas] mengancam hak atas privasi, dan pada akhirnya mengurangi penikmatan kebebasan berekspresi karena orang menjadi takut (chilling effect) untuk mengekspresikan opininya di media sosial,” tulis ELSAM dalam keterangan resmi pada Minggu (23/7).
ELSAM juga meminta Kemkominfo seharusnya bisa mendorong perbaikan rumusan pengaturan terkait konten dalam revisi UU ITE dengan mempertimbangkan beberapa hal. Diantaranya memperjelas rujukan konten-konten yang berbahaya (harmful), sehingga masuk kualifikasi melanggar hukum dan bisa dibatasi persebarannya; memberikan tanggung jawab yang lebih besar ke platform atau penyelenggara sistem elektronik untuk menyediakan kebijakan internal dan prosedur pengaduan konten dari pengguna, termasuk membentuk mekanisme internal untuk merespons aduan, dan memberikan keputusan membatasi atau tidak konten yang diadukan.
Platform pun juga perlu untuk menyediakan laporan transparansi (transparency report) yang dipublikasikan secara berkala terkait dengan aduan yang diterimanya. Platform juga perlu didorong untuk mengembangkan arsitektur teknologi mereka untuk mengenali dan mencegah penyebaran konten-konten yang disinformatif.
Lalu apa alasan Menkominfo membentuk badan pengawas?
Seperti dikutip CNN Indonesia, Menteri Budi Arie Setiadi mengatakan perlu membentuk badan pengawas media sosial seiring berkembangnya teknologi.
“Sekaran kan konten-konten yang meresahkan bentuknya banyak, sekarang teknologi itu berkembang. Mungkin pada waktunya kita perlu pengawas medsos. Cyber untuk mengawasi konten-konten medsos,” ujar Budi pada awal pekan lalu. (*)
* sampaijauh.com