Perempuan Pemimpin Kerajaan di Jawa

Jadul70 Views

foto : tribhuwana wijayatunggadewi

 

finews, – Catatan Dinasti Tang pada abad ke-6 Masehi, dikisahkan Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga yang berlokasi di sekitar Jepara, Jawa Tengah.Ia dikenal tegas dan jujur. Ketegasannya itu membuat rakyatnya selalu berpaku pada kebenaran dan takut merampas hak orang lain.

Ketegasan Ratu Shima tersohor hingga ke negeri seberang.Raja bernama Tha-Shih dari Tiongkok pernah menguji kejujuran rakyat yang dipimpin Ratu Shima itu dengan menggeletakan sekantong emas di jalan begitu saja.Tak seorang pun yang berani mengambilnya hingga waktu lama,tetiba akhirnya putra dari Sang Ratu, Pangeran Narayana tidak sengaja menginjak kantong itu.

Ratu Shima marah mengetahui putranya menyentuh barang yang bukan miliknya.Hukuman mati dijatuhkan untuk sang pangeran. Namun dicegah oleh para pejabat dan penasihat kerajaan, sehingga putranya hanya dihukum dengan memotong jari jempolnya.

Kepemimpinan Ratu Shima, mencapai puncak periode keemasannya. Kalingga sendiri merupakan kerajaan Hindu yang jejaknya diakui terbesar di Jawa.

Pada masa Jawa kuno, posisi perempuan justru setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, hingga menjadi ratu.

Dalam bukunya Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV, arkeolog Titi Surti Nastiti menulis bahwa pada abad ke-8 hingga abad 15, perempuan memiliki peran dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Di bidang politik, jabatan pemerintahan bisa diduduki oleh laki-laki maupun perempuan, itu mulai dari raja/ratu, putra/putri mahkota, pejabat hukum, pejabat keagamaan sampai pejabat desa.

“Di istana, seorang putri mahkota atau putra mahkota itu ditunjuk karena dia lahir dari seorang raja dan permaisuri kemudian akan dilanjutkan menjadi penguasa di masa depan, entah itu laki-laki maupun perempuan, seorang istri bisa saja memiliki gelar kebangsawanan lebih tinggi daripada suaminya,” tulis Titi.

Periode keemasan kepemimpinan perempuan terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1527).
Sebelum Hayam Wuruk naik takhta , Majapahit dipimpin oleh ibundanya, Tribhuwana Wijayatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1351). Ia putri dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya. Dengan bimbingan sang ibu Gayatri Rajapatni, Tribhuwani memerintah kerajaan Majapahit selama 22 tahun.Tribhuwana juga mendapat gelar maharaja dengan nama abhiseka (pelindung semua agama). Sumber-sumber yang menceritakan tentang masa-masa kepemimpinannya banyak ditemukan dalam teks Negarakretagama (puisi jawa kuno)dan Pararaton (riwayat para raja).

Selama kekuasaan Tribhuwana, Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di Nusantara. Ia juga dikenal karena berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta pada 1331 M. Menurut sumber prasasti yang ditemukan, Tribhuwana banyak membangun candi bagi mpu Prapanca, pujangga sastra jawa kuno yang menulis Negarakretagama. Ia juga membangun candi Singhasari untuk memperingati Mahabrahman dan bekas patih Singhasari yang gugur bersama dengan raja Kertanegara.

Meski kekuasaan diteruskan Hayam Wuruk, kepemimpinan perempuan tetap berperan penting dalam memimpin wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Prasasti Waringin Pitu (1369) menunjukkan jika 14 dari 19 pemimpin wilayah kekuasaan kerajaan adalah perempuan.

Dalam Nagarakretagama tercatat jika semua penguasa Lasem adalah perempuan.Salah satunya adalah adik Hayam Wuruk, mereka diberi gelar Bhre Lasem. Bhre Lasem I adalah adik perempuan Raja Hayam Wuruk, bernama Sri Rajasadhitendudewi, sementara Bhre Lasem II dipimpin oleh putri dari Hayam Wuruk dengan permaisurinya Paduka Sori, bernama Kusumawarddhani. Bhre Lasem III dijabat oleh Nagarwarddhani yang merupakan keponakan Hayam Wuruk.

Selan diizinkan untuk memimpin daerah, putra atau putri mahkota pun tidak selalu naik takhta, Kusumawarddhani misalnya, tidak menggantikan ayahnya menjadi ratu Majapahit ketika Hayam Wuruk turun tahta (1389). Kusumawarddhani memilih memberikan tampuk kepemimpinan kepada suaminya Wikramawarddhana. Hal ini menyebabkan kecemburuan anak selir Hayam Wuruk, Bhre Wirabumi, yang berakibat pada perang saudara Paregreg (1404), yang dimenangkan oleh Wikramawardhana. Setelah wafat pada 1428, tampuk kepemimpinan dikembalikan pada Kusumawarddhani, ia menjadi raja perempuan kedua Majapahit, meski kepemimpinannya tergolong singkat hanya berlangsung tiga tahun saja.

Setelah Kusumawarddhani lengser, Majapahit kembali dipimpin oleh perempuan, yang tak lain adalah putrinya bernama Dyah Suhita, yang sukses memimpin Majapahit selama 18 tahun (1429-1447), dan disebut-sebut sebagai raja perempuan terakhir di Jawa Timur.

Selama kepemimpinannya, Dyah Suhita berusaha menghidupkan kearifan lokal yang sempat terabaikan selama masa tegang perang Paregreg. Karena Dyah tidak memiliki keturunan, penguasa Majapahit selanjutnya adalah Kertawijaya, adik bungsu Dyah Suhita.

Tulisan Nagarakretagama maupun kitab Pararaton tidak menggambarkan secara detail bagaimana gaya kepemimpinan para perempuan di masa kerajaan. Namun menurut Titi, dalam teks Kakawin Kresnayana jelas tercatat bahwa seorang perempuan ideal dan seorang ratu tidak hanya persoalan cantik belaka, tetapi juga terpelajar dan mahir memimpin. Salah satu sebabnya adalah karena pada masa itu, pendidikan tidak terbatas pada laki-laki saja. Sehingga para pemimpin perempuan selain karena garis keturunan, tetapi mereka juga memiliki kemampuan yang mumpuni. (lukman)

* womenleas.magdalena/23 oktober 2020/siti parhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *