Oleh : Lukmandaka
finews, – Umat Buddha di seluruh dunia merayakan Hari Raya Waisak pada Kamis (23/5).
Waisak berasal dari bahasa Pali “vesakha” atau “vaisakha” dalam bahasa Sansekerta.
Hari Waisak biasanya diperingati pada pertengahan tahun, tepatnya pada saat bulan bersinar paling terang (purnama sidhi). Dalam kalender Masehi, hari suci ini biasanya jatuh pada bulan Mei, namun bisa juga diperingati pada April atau Juni.
*Makna dan Tujuan Hari Raya Waisak
Mengutip majalah Reformasi Moral terbitan Departemen Agama, Waisak disebut juga dengan Tri Suci Waisak. Hari suci tersebut diperingati untuk mengenang tiga peristiwa penting dalam hidup Siddharta Gautama atau Sang Buddha yang semuanya terjadi pada bulan Waisak, yaitu kelahiran, pencerahan, dan parinibbana.
Sidharta Gautama berasal dari keluarga kerajaan . Ayahnya adalah Raja Sudodhana dan ibunya bernama Mahamaya. Siddharta lahir sebagai seorang Bodhisatva (seseorang yang akan mencapai kebahagiaan tertinggi) di Taman Lumbini pada 623 sebelum Masehi, tepatnya pada bulan Waisak.
Kelahiran Sidhartha Gautama telah membawa pengaruh signifikan bagi kehidupan beragama, bukan karena terlahir sebagai pencetus Buddhisme, akan tetapi karena ajaran-ajarannya yang memiliki akar kemanusiaan yang kokoh dan mudah tumbuh dalam bumi di mana keterikan sosial dan peradaban semakin menggerahkan.
Pangeran Siddharta mencapai pencerahan agung (Anuttara Samyak Sambodhi) dan menjadi Buddha pada usia 35 tahun setelah bersemedi di bawah pohon Bodhi.
Sang Buddha melewati proses panjang selama bertahun-tahun untuk mencapai Samyak Sambodhi. Pencerahan agung tersebut baru dapat tercapai setelah ia menyaksikan empat siklus hidup manusia, yakni lahir, tua, sakit, dan mati.
Sang Buddha meninggal dunia dan mencapai Parinibbana atau parinirvana pada usia 80 tahun dan dimakamkan di Kushinara pada 543 sebelum Masehi.
*Pesan dan Ajaran Moral
Perayaan Waisak, kiranya tidak semata seremonial belaka bagi umatnya, tetapi lebih dari itu, umat lainnya diharapkan mampu memantulkan cahaya religius ke dalam sanubari mereka tanpa melihat asal teologisnya.
Sehingga kian menguatnya kohesifitas antar umat ,sehingga spirit Waisak tidak dimaknai sebatas hari raya an sich, tetapi penting mengimplementasikan nilai-nilai moral
Momen perayaan Waisak, bermakna menapaktilas sosok dan meneladani perilaku Sidhartha Gautama yang telah menanamkan fundamen moralitas yang menjadi katalisator ajaran kemoralan Buddha.
Tentu saja ajaran seperti itu, terdapat dalam agama-agama lain, tetapi momen Waisak memperbarui alam kesadaran beragama kita, sehingga nilai-nilai religiusitas sedapat mungkin mendominasi pikiran kita dalam berperilaku.
Ajaran moral Buddha bertumpu kepada lima spektrum nilai, yaitu nilai kemanusiaan, nilai keadilan, nilai keluarga, nilai kejujuran dan nilai pembebasan. Seperti halnya Islam dan Kristen dan agama lain, ajaran Buddha juga menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas.
Lima prinsip kemoralan dimaksud adalah:
Bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan).
Bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan).
Bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila (nilai keluarga).
Bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar: berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong (nilai kejujuran).
Bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan).
Ajaran moral tersebut, merupakan bagian dari ajaran pokok Buddha bernama Dharma. Seseorang yang ingin mencapai surga (Nirwana) haruslah terlebih dahulu menyucikan batin, dengan cara menjalankan, selain ajaran moral atau sila di atas, juga harus menjalankan ajaran samadhi (perhatian) dan ajaran Panna (kebijaksanaan).
Sukses menjalankan ketiga ajaran tersebut, baru kemudian seseorang dapat mencapai gelar kebuddhahan, sebagaimana yang telah dicapai oleh Sang Buddha Gautama.
Mirip dengan itu, dalam sufisme Islam disebutkan bahwa seorang pencari jalan (salik) yang hendak betudaha memurnikan jiwanya. Dengan pengertian seorang salik adalah seseorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya, yang disebut juga dengan jalan suluk. Dengan kata lain, seorang salik adalah seorang penempuh jalan suluk.
Untuk menjadi seorang salik, seorang muslim selama seumur hidupnya harus menjalani disiplin dalam melaksanakan syariat lahiriah sekaligus juga disiplin dalam menjalani syariat batiniah agama Islam. Seseorang tidak disebut sebagai seorang salik jika hanya menjalani salah satu disiplin tersebut.
Seorang salik juga disebut sebagai seorang murid ketika ia menjalani disiplin spiritual tersebut di bawah bimbingan guru sufi tertentu, atau dalam tarekat tertentu.