foto: istimewa
finews – Wabah chikungunya melanda 119 negara, termasuk Indonesia. Hingga Juli 2025, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) melaporkan sekitar 240 ribu kasus chikungunya dengan 90 kematian di 16 negara dunia.
Chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus chikungunya (CHIKV). Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (yang lebih dikenal sebagai nyamuk penyebab demam berdarah) dan Aedes Albopictus.
Di Indonesia sendiri, pada 2023, terdapat 6.049 kasus Chikungunya yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dengan Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat jumlah tertinggi sebanyak 1.552 kasus.
Kendati laporan kematian sepanjang tahun ini belum ditemukan, Indonesia mencatatkan peningkatan drastis kasus suspek Chikungunya (individu bergejala/kontak dekat dengan pengidap, tapi belum menjalani pemeriksaan) dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Hingga Agustus tahun ini, kasus suspek Chikungunya tertinggi di empat provinsi sudah mencapai lebih dari 14 ribu. Suspek terbanyak di Jawa Barat bahkan mencapai 6.674 kasus.
Peningkatan kasus chikungunya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mencegah wabah agar tidak meluas dan menyebabkan korban jiwa. Pertanyaannya, seberapa siap sistem kesehatan kita menghadapi wabah Chikungunya?
Infeksi Chikungunya umumnya memicu gejala berupa demam, ruam kemerahan, hingga nyeri otot dan sendi mendadak yang dapat melumpuhkan.
Gejalanya muncul sekitar 4 – 8 hari setelah tergigit nyamuk pembawa virus. Biasanya orang dengan chikungunya bisa pulih selama 1 – 2 minggu.
Pada beberapa kasus, infeksi CHIKV tidak menimbulkan gejala apa pun.
Meskipun jarang berakibat fatal hingga menyebabkan kematian, dampak Chikungunya tidak boleh dianggap remeh. Sebagian orang bisa mengalami nyeri sendi selama berbulan-bulan bahkan tahunan setelah demam Chikungunya mereda. Kondisi ini dikenal masyarakat sebagai flu tulang atau demam tulang.
Pada kasus yang jarang terjadi, penyakit Chikungunya bisa menyebabkan komplikasi berupa gangguan retina yang berujung hilangnya penglihatan.
Bagaimana Wabah Chikungunya Merebak?
Wabah Chikungunya merebak karena kombinasi faktor lingkungan dan kemampuan virus beradaptasi secara efisien.
Salah satu pendorong utamanya adalah eksistensi nyamuk Aedes yang tersebar luas, setelah berkembang biak pada genangan air bersih di pemukiman.
Perubahan iklim juga memperluas jangkauan geografis nyamuk penular chikungunya. Penelitian tahun 2024 oleh Lake Forest College, mengungkapkan banyak kasus chikungunya baru ditemukan di wilayah lebih sejuk.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), evolusi virus juga memegang peranan kunci dalam penyebaran chikungunya global.
Penularan penyakit ini kemudian dipercepat oleh tingginya mobilitas manusia dan kemudahan perjalanan internasional. Faktor ini menjadi jalan pintas penyebaran virus ke area-area baru.
Selain itu, studi tahun 2025 dalam Acta Tropica menemukan wabah Chikungunya merebak akibat masifnya urbanisasi yang tidak terencana. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang padat penduduk disertai sanitasi yang tidak memadai.
Pesatnya perkembangbiakan nyamuk penular Chikungunya maupun manusia menjadi kombinasi sempurna merebaknya wabah virus secara eksplosif.
Gejala Chikungunya Sulit Dikenali
Kapasitas diagnostik dan surveilans merupakan tantangan utama sistem kesehatan Indonesia dalam memahami besaran masalah chikungunya yang sebenarnya.
Chikungunya sering kali didiagnosis sebagai demam berdarah atau penyakit lain, seperti demam tipes (tifoid) dan leptospirosis. Bahkan nyeri sendi yang dialami pasien chikungunya pun tidak dapat menjadi pembeda yang jelas.
Hasil uji laboratorium INA-RESPOND, mengungkapkan bahwa 40 dari 1.089 sampel darah pasien terkonfirmasi positif Chikungunya mulanya menerima diagnosis keliru dari tenaga kesehatan.
Situasi ini menunjukkan bahwa alat penunjang diagnostik yang memadai sangat diperlukan. Ketidakakuratan pelaporan kasus berisiko menghambat perencanaan dan alokasi sumber daya kesehatan dalam meredam kasus chikungunya.
Meski kendala diagnostik tidak dapat dihindarkan, pemerintah telah berupaya menjalankan mekanisme respons. Salah satunya melalui penyusunan dokumen Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam Chikungunya di Indonesia sebagai acuan teknis di lapangan.
Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan melalui sosialisasi dan webinar juga dilakukan sebagai upaya mendeteksi dini, tata laksana, serta surveilans chikungunya.
Bagaimana Pengobatan Chikungunya?
Hingga saat ini belum ada antivirus khusus untuk mengobati infeksi virus chikungunya.
Selain dianggap sebagai penyakit yang akan hilang dengan sendirinya, penanganan Chikungunya sejauh ini adalah dengan menghilangkan gejalanya disertai pemberian obat-obatan pereda nyeri sendi.
Upaya Pemerintah Mengejar Ketertinggalan
Pemerintah Indonesia perlu menyusun strategi yang menyeluruh serta proaktif, guna mengejar ketertinggalan dalam pengendalian Chikungunya.
Pemerintah perlu mengembangkan sistem surveilans epidemiologi berupa data kasus yang terintegrasi secara real-time, dari level puskesmas hingga pusat. Cara ini diharapkan bisa menjadi sistem peringatan dini yang aktif bukan hanya sekadar pencatatan pasif.
Selain itu, pemerintah perlu berinvestasi dalam meningkatkan akses dan kapasitas tes diagnostik. Tujuannya agar bisa membedakan chikungunya dengan penyakit lainnya, baik di tingkat puskesmas maupun laboratorium kabupaten/kota.
Kemajuan teknologi penginderaan jarak jauh dan kecerdasan buatan (AI) dapat dimanfaatkan pula untuk mendeteksi wilayah dan waktu yang rentan terhadap penularan chikungunya, sehingga surveilans dan pencegahan bisa lebih terarah.
Perlu Tindakan Pencegahan
Pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat (terutama di wilayah dengan risiko penularan tinggi) agar berpartisipasi aktif menerapkan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M secara berkesinambungan.
Caranya dengan menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat penyimpanan air, serta mendaur ulang barang bekas yang menampung air.
Keterlibatan masyarakat dapat ditingkatkan melalui edukasi hingga lingkungan rukun warga (RW) mengenai risiko dan cara penularan, serta dampak jangka panjang penyakit chikungunya.
Lebih dari itu, kerja sama riset untuk adopsi inovasi pengendalian nyamuk penular akan menjadi pintu gerbang dalam upaya pemerintah mengejar ketertinggalan.
Contohnya, pemanfaatan teknologi Wolbachia, yaitu bakteri yang dimasukkan ke dalam tubuh nyamuk Aedes untuk melumpuhkan virus chikungunya.
Kerja sama lintas sektor antara pemerintah dengan ilmuwan lintas disiplin menjadi kunci dalam memperkuat kapasitas diagnostik, surveilans, pemetaan risiko, serta inovasi penanggulangan penularan chikungunya di masa yang akan datang.(lukman*)
*sumber:theconversation












