foto : ilustrasi
finews,Jakarta – Pengamat hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mendukung adanya gugatan syarat pencalegan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengabulan gugatan soal caleg wajib warga asli daerah pemilihan, dinilai memberi ruang bagi putra asli daerah.
“Karena ini juga akan memperbesar peluang keterpilihan putra-putri daerah dalam kontestasi politik nasional,” kata Titi saat dikonfirmasi Inilah.com, Jakarta, Sabtu (8/3).
Menurutnya, putra daerah asli tentu memang lebih memahami kebutuhan di daerahnya, ketimbang calon dari luar dapil. Titi menjelaskan gugatan ini menunjukkan bahwa masyarakat memandang penting soal keterhubungan antara caleg dan daerah pemilihan yang mereka wakili.
“Didasari oleh besarnya jumlah caleg yang tidak berdomisili di daerah pemilihannya, tidak lahir dan juga tidak pernah bersekolah di dapil tempat mereka dicalonkan. Intinya mahasiswa ini ingin agar caleg DPR dan DPRD juga seperti caleg DPD yang harus berdomisili di dapil atau provinsi tempat mereka mencalonkan diri sebagimana pernah diputus dalam Putusan MK No.10/PUU-VI/2008,” tuturnya.
Pandangan berbeda disampaikan anggota Komisi II DPR dari Fraksi NasDem Ujang Bey menyatakan tidak setuju, atas wacana yang mengharuskan calon legislatif (caleg) berasal dari daerah pemilihan (dapil) yang sama atau yang dikenal dengan istilah ‘akamsi’ (anak kampung sini).
“Caleg yang bertarung di dapil tertentu, baik dia berasal dari daerah tersebut atau bukan, tetap dihadapkan pada tuntutan untuk memahami isu-isu lokal di dapilnya. Ini adalah modal dasar untuk menjalankan tugas sebagai wakil rakyat,” ujar Ujang Bey dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (6/3).
Ia menjelaskan, hampir semua partai politik (parpol) peserta pemilu sangat terbuka, untuk memberikan peluang bagi caleg yang berasal dari dapil yang sama. Hal ini biasanya disertai dengan isu ‘putra daerah’ yang sering menjadi tema dalam kampanye pemilu. Namun, caleg akamsi maupun non-akamsi, keduanya tetap memiliki tanggung jawab yang sama.
“Caleg dituntut untuk sosialisasikan diri dan menawarkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di dapil masing-masing. Pemahaman terhadap isu lokal menjadi hal yang esensial, namun tidak terbatas pada siapa yang berasal dari daerah tersebut,” ungkap dia.
Meskipun ada gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hal ini, lanjut dia, substansi utama dalam pencalonan legislatif tetap sama, yaitu pemahaman mendalam terhadap isu-isu lokal di dapil masing-masing.
Diketahui, sejumlah mahasiswa mengajukan gugatan terhadap UU Pemilu ke MK. Mereka meminta MK mengubah syarat caleg harus warga yang sudah berdomisili di daerah pemilihan (dapil) tersebut. Dilihat dari situs MK, Senin (3/3), gugatan tersebut telah teregistrasi dengan nomor perkara 7/PUU-XXIII/2025. Para pemohon terdiri dari delapan orang mahasiswa, yakni Ahmad Syarif Hidayaatullah, Arief Nugraha Prasetyo, Samuel Raj, Alvin Fauzi Khaq, Aura Pangeran Java, Akhilla Mahendra Putra, Arya Ashfihani HA, dan Isnan Surya Anggara.
“Bahwa keseluruhan pemohon merupakan Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang. Para pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap frasa dan kata dalam Pasal 240 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945,” demikian isi gugatan.(*)
*inilah.com