Manten Tebu Nilai Sakral Dan Pergeseran Masa

Etnik359 Views

foto : ilustrasi

 

finews,- Manten tebu merupakan salah satu tradisi unik yang masih lestari di Indonesia, khususnya di kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Manten tebu adalah tradisi
jawa yang dilakukan di pabrik gula (PG) menjelang musim giling, di mana sepasang batang tebu diarak dan disimbolkan sebagai pengantin, sebagai wujud rasa syukur dan harapan akan lancarnya proses giling. Ritual ini mirip dengan pernikahan manusia, lengkap dengan prosesi kirab, seserahan, dan doa-doa.

Makna dan Tujuan

Manten tebu merupakan wujud syukur atas panen tebu yang melimpah dan harapan akan kelancaran musim giling.Secara simbolik melambangkan kemitraan antara petani tebu dan pabrik gula, di mana keduanya saling bergantung untuk menghasilkan gula.

Pelestarian Budaya

Manten tebu juga merupakan upaya untuk melestarikan kearifan lokal dan warisan budaya Jawa. Prosesi Manten Tebu diawali pemilihan tebu terbaik, yang akan disimbolkan sebagai pengantin laki-laki dan perempuan,selanjutnya Tebu dihiasi janur, boneka, dan dihias bak sepasang pengantin.Lalu tebu manten diarak seolah-olah pengantin manusia, diiringi oleh barongan, gending jawa, dan seserahan.

Tebu manten diserahkan kepada pihak pabrik gula,kemudian dimasukkan ke dalam mesin giling sebagai tanda dimulainya musim giling.

Tradisi manten tebu banyak ditemukan di daerah penghasil gula di jawa,setiap pabrik gula memiliki keunikan dan variasi dalam pelaksanaan manten tebu, seperti nama tebu manten, pakaian, dan seserahan.

General Manager PG Modjopanggung Tulungagung Sugianto mengatakan, upacara adat tersebut telah dilakukan turun-temurun pada saat menjelang buka giling. Tradisi itu merupakan bentuk sinergitas antara pabrik gula dengan seluruh komponen usaha, termasuk para petani tebu.

“Secara filosofis makna dari manten tebu adalah wujud rasa syukur dan wujud kesiapan baik itu pabrik gula maupun petani dalam rangka menyongsong giling tahun 2024. Ini adalah sebuah prosesi sakral yang sudah bertahun-tahun dilaksanakan oleh Pabrik Gula Modjopanggung,” kata Sugianto, Jumat
24 Mei 2024.

Awal Mula

Adapun sejarah manten tebu Tulungagung tercatat sejak era kolonial Belanda abad ke-19, ketika Tulungagung menjadi sentra perkebunan tebu.

Menurut penelitian Suhartono (2017) dalam jurnal Antropologi Agraria, petani jawa mengadaptasi ritual Hindu-Budhha untuk memohon kesuburan, yang kemudian berevolusi menjadi manten tebu Tulungagung.

Dalam arsip Dinas Kebudayaan Tulungagung (2018) juga disebutkan bahwa ritual ini awalnya dipraktikkan oleh buruh pabrik gula dan petani sebagai bentuk permohonan kepada Dewi Sri, Dewi Kesuburan dalam kepercayaan Jawa.

Pada masa itu, tebu menjadi komoditas utama pendapatan masyarakat, sehingga ritual manten tebu dianggap sebagai upaya menjaga keseimbangan ekosistem pertanian.

Memasuki masa kemerdekaan, tradisi manten tebu sempat meredup karena tekanan ekonomi dan modernisasi.

Namun, sejak tahun 2000-an, pemerintah setempat dan komunitas budaya mulai menghidupkan kembali tradisi manten tebu sebagai bagian dari identitas daerah.

Dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program pelestarian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2015 semakin mengukuhkan posisinya.

Dalam perkembangannya, pengantin tebu tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi media transmisi nilai-nilai kebersamaan dan pelestarian lingkungan.

Tradisi manten tebu ini diwariskan secara turun-temurun, dengan sentuhan kreativitas seperti penggunaan kain lurik dan hiasan bunga sebagai simbol kemakmuran.

Kini, manten tebu tidak hanya dilaksanakan di area pertanian, tetapi juga dijadikan atraksi budaya dalam festival tahunan Tulungagung. Perpaduan antara unsur sakral dan hiburan ini menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara.

Menurut penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020), manten tebu juga menjadi media edukasi tentang pentingnya menjaga kelestarian alam.

Dalam konteks sosial, pengantin tebu memperkuat solidaritas antar warga karena melibatkan kerja sama mulai dari persiapan hingga puncak acara.

Hal ini sejalan dengan penelitian Kemdikbud (2019) yang menyatakan bahwa tradisi semacam ini mampu mengurangi potensi konflik horizontal di pedesaan.

Tradisi manten tebu juga menjadi pengingat bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam, sebagaimana diwariskan leluhur.

Selain itu, terdapat pembedaan antara tebu jantan dan betina yang diyakini masyarakat. Tebu pria diberi nama Raden Bagus Rosan, sementara tebu wanita disebut Dyah Ayu Roromanis.

Selain itu, manten tebu juga muncul dalam sejumlah dokumenter dan penelitian akademik, memperluas narasinya ke khalayak yang lebih luas. Salah satu contoh terbaru adalah film Pabrik Gula (2024) karya sutradara Yosep Anggi Noen, yang menyoroti dinamika buruh dan sejarah panjang industri gula di Jawa.

Meski tidak secara langsung menampilkan prosesi manten tebu, film ini membuka ruang refleksi tentang hubungan manusia, alam, dan komoditas tebu yang sarat nilai budaya. Tradisi manten tebu menjadi kontras yang menarik terhadap narasi industrialisasi dalam film, menunjukkan sisi spiritual dan kultural yang selama ini jarang mendapat sorotan di layar lebar. (winarto, pimpinan forum indonesia pers)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *