Puncak Sekaten Solo, Ditandai Turunnya Gunungan Keraton

foto : abdi dalem keraton surakarta menggotong gunungan jaler yang terbuat dari sayur mayur di masjid agung surakarta sebelum diperebutkan pengunjung Sekaten.

finews,Surakarta – Keraton Surakarta Hadiningrat hari ini Senin (16/9) bakal menggelar puncak Sekaten atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Puncak dari Sekaten ditandai dengan turunnya gunungan hasil bumi dari keraton yang diperebutkan di Masjid Agung Surakarta.

Salah satu dari puncak Sekaten telah selesainya gamelan sekaten di bangsal Pradangga Masjid Agung Minggu (15/9) malam . Gamelan peninggalan kerajaan Demak itu akan kembali disimpan di Keraton dan akan dibunyikan lagi pada perayaan sekaten tahun depan.

Dikutip dari situs resmi Pemerintah Kota Solo, tradisi sekaten merupakan acara tahunan yang rutin diselenggarakan di kota Solo. Sekaten sarat akan simbol-simbol, sehingga tak hanya untuk pemaknaan tradisi jawa juga digunakan sarana penyebaran agama Islam. Adanya acara ini sekaligus sebagai peringatan Maulid atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adapun pelaksanaannya di bawah kewenangan keraton Surakarta.

Terdapat beberapa rangkaian acara dalam sekaten. Pertama, diadakan Miyos Gongso atau pemindahan gamelan dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta.

Gamelan Kyai Guntur Madu diletakkan di sebelah selatan atau sebelah kanan halaman masjid sebagai lambang Syahadat Tauhid, dan gamelan Kyai Guntur Sari diletakkan disebelah Utara atau sebelah kiri masjid sebagai lambang Syahadat Rasul.

Kemudian, gamelan akan dibunyikan selama 7 hari berturut-turut, yakni tanggal 5 sampai 12 Rabiul Awal. Momen ini, pada zaman dahulu ditujukan untuk menarik masyarakat agar memasuki Masjid Agung dan menunaikan ibadah.

Kedua, setelah Miyos Gongso diadakan Grebeg Maulud. Hal inilah yang menjadi puncak dari acara sekaten. Akan ada dua gunungan yang diarak dari keraton ke Masjid Agung, lalu menjadi rebutan warga sekitar.

Gunungan tersebut dinamakan gunungan kakung (laki-laki) dan gunungan estri (perempuan). Adanya dua gunungan tersebut melambangkan keseimbangan kehidupan.

Bahan penyusun kedua gunungan pun berbeda. Biasanya pada gunungan kakung, terdiri dari kacang panjang, telur, wortel, terong, cabai merah besar, mentimun, dan berbagai jenis sayuran lainnya. Sementara, pada gunungan estri berisi beras ketan (rengginang), beragam kue-kue yang disebut dengan ilat-liatan, entul-entul, kucu dan juga dihias agar tampak meriah menggunakan perpaduan makanan warna-warni yang semuanya terbuat dari tepung ketan.

Setelah dilakukan kirab, para abdi dalem dan kerabat keraton mendoakan gunungan. Dengan harapan supaya selalu diberi kelimpahan nikmat dan dapat tercipta harmonisasi hidup, baik dengan sesama maupun alam semesta. Kemudian, barulah gunungan dibawa kembali keluar Masjid Agung.

Pada saat inilah, masyarakat berlomba-lomba mendapatkan bahan penyusun masing-masing gunungan tersebut. Mereka percaya, jika makan dari bahan-bahan gunungan sekaten, dapat melancarkan rezeki dan mendapat berkah.

Banyak yang mempercayai tradisi berebut gunungan, bisa dirasakan berkahnya bagi orang yang beruntung mendapatkan makanan dari gunungan. Akan tetapi, banyak juga yang menganggapnya sebagai mitos belaka.

Terlepas itu semua, kita harus tetap mempertahankan tradisi ini. Sebab, ini merupakan warisan dari leluhur yang memiliki makna untuk kebaikan bagi semua umat. Terlebih, sekaten juga menjadi wadah penyebaran agama Islam di Kota Solo.(*rri.co.id)

 

* editor : lukmandaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *