foto: ilustrasi/ist
finews,– Tetap tingginya perokok membuat Indonesia bisa dikatakan mengalami darurat rokok. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada 2023 yang dirilis Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia diperkirakan mencapai 70 juta orang atau sekitar 25 persen dari populasi penduduk Indonesia.Dari data itu, perokok berusia 10-18 tahun mencapai 7,4 persen atau sekitar 5,1 juta remaja.
Secara garis besar, ada tiga jenis pajak yang dikenakan atas rokok yaitu, PPN, cukai, dan pajak daerah.
Rokok dikenakan PPN berdasarkan PMK Nomor 63/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau. Berdasarkan ketentuan tersebut, atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh produsen atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir dikenakan PPN .Selain itu, rokok juga dikenakan cukai berdasarkan UU HPP.
Terakhir, rokok dikenakan pajak daerah berdasarkan ketentuan UU HKPD. Sebagai pajak daerah, pajak rokok dipungut oleh pemerintah provinsi dengan tarif pajak sebesar 10 persen dari cukai rokok.tembakau. Jika dibandingkan dengan sektor pemasukan pajak minyak dan gas yang hanya 3,03 persen.
Penerimaan cukai rokok dari tahun ke tahun pun meningkat. Pada 2016, cukai rokok menyumbang 141,7 triliun. Tahun sebelumnya 149,9 triliun.
Tahun 2017 149,9 mencapai triliun tahun 2018 mencapai 120,62 triliun,tahun 2019 mencapai 164,87 triliun.Tahun 2020 mencapai179,24 triliun, tahun 2021mencapai 188,81triliun ,tahun 2022 mencapai 218,6 triliun,tahun 2023 mencapai 210,29 triliun.Per Agustus 2924 183,2 triliun per Agustus 2024,
Artinya, pendapatan negara sangat besar didapat dari sektor ini
Sejak dulu cukai rokok sudah menjadi penyelamat bagi keuangan negara. Sistem pungutan cukai disebut dengan istilah “sistem ijon.” Pemerintah bisa menarik pembayaran cukai di depan.
“Jadi, saat negara butuh uang untuk menjalankan program pembangunan, pungutan cukai tersebut dijadikan andalan untuk menjalankan programnya, ketika pungutan pajak dari sektor lainnya baru bisa didapat di akhir tahun anggaran,” kata Azami.
Azami menyebut, industri hasil tembakau juga teruji ketahanannya di masa-masa krisis ekonomi. Dia memberi contoh, pada 1998, industri hasil tembakau tetap bertahan dan berkembang, saat sektor ekonomi lain terimbas krisis.
“Karena, seluruh rantai produksi dari hulu ke hilir dikelola di dalam negeri dan konsumsinya pun lebih besar di dalam negeri,” ujar Azami.
Bila terlalu banyak sumbangan rokok yang menyelamatkan keuangan negara, termasuk menambal defisit BPJS Kesehatan, lantas, apakah jargon merokok membunuhmu masih berlaku.(winarto penanggung jawab redaksi finews)