Oleh: Abd. Kholiq(Ketua DPC PBB Jombang)
(Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Apa POLITIK itu? Arti sederhana, POLITIK itu adalah suatu upaya, sikap dan kebijakan untuk meraih tujuan umum (maslahah), yaitu; memelihara agama (keyakinan), akal, jiwa, harta dan keturunan (Syafi’iyah). Jadi, politik itu bukan hanya urusan; eksekutif, legislatif, yudikatif. Tapi menyangkut kemaslahatan manusia dalam kehidupan jasmani dan rohani. Kaidah fiqh: Tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (Kebijakan pemimpin itu harus berorientasi pada kemashlahatan masyarakat/ manusia. Atau, thalabu al-ridho wa al-mashlahah. Tapi, ada pula pemahaman politik adalah cara untuk meraih kekuasaan dengan sistem demokratis-profanisitik. Lalu mana yang benar?
Dua pandangan ini, secara konseptual – searah. Bedanya, terletak pada rujukan dan arti kesejahteraan yang dihasilkan dari proses upaya sikap dan kebijakan. Praktinya, terjadi berlawanan/ paradoksal. Abaikan sistem, norma dan etika sering terjadi – yang embrionya – dilakukan oleh, maaf, subyek politik kekuasaan (oknom calon legislatif, eksekutif dll) – yang pada gilirannya terpaksa mendapat pembenaran dari, maaf, obyek politik dan terbangunlah tradisi sosial politik yang absurd.
Mengguritanya korupsi/ gratifikasi, sejatinya, terjadi lantaran sikap dan kebijakan calon legislatif dan eksekutif – yang – menjebak rakyat dengan AMPLOP POLITIK, dari waktu ke waktu. Mereka tidak berintegritas. Akar masalahnya karena Referensi dan Arti Kesejahteraan Politik yang dipedomani tidak tuntas. Kini, serangan amplop politik, kian brutal. Tak hanya di Serangan Fajar. Tapi, di waktu pagi, malam dan siang pun terkonspirasi. Norma dan etika sudah tidak lagi jadi pijakan berpolitik. Siapa yang rugi dan menderita? Pasti rakyat kebanyakan.
Dalam konteks ini, KITA, masih merasa optimis mendapat dukungan banyak tokoh agama dan masyarakat agar praktik poliitk konyol yang merusak masa depan rakyat, bisa dihentikan. Yakni; dengan gigih memegang amanat Reformasi 1999 (Keadilan, Kesejahteraan, Pendidikan) yang hampir punah oleh keserakahan jabatan.
Rahasia umum? Benar. Bahwa AMPLOP POLITIK marak terjadi saat pemilu (Pileg, Pilpres, Pilkada dan lainnya), meski ada sanksi di UU No. 7/ 2017 tentang pemilu. Khusus larangan politik uang ada Psl.: 278, 280, 284, 515 dan 523. Pidananya; 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun penjara dan denda antara; 24 juta, 34 juta dan 48 juta. Faktanya, modus politik sesat itu terus tampil gagah – tanpa malu. Ini problem politik terkini. Ironisnya, proses politik modus itu – masih dinilai cukup demokratis. Bisa direfleksi oknom pelakunya; Caleg, Timses, Penerima AMPLOP POLITIK, program JASMAS (berupa bangunan fisik atau jaminan social)
Modus tersebut bisa teridentifikasi dengan baik oleh yang berwenang bersama masyarakat, jika kompak menghentikan “politik sesat” yang merusak sendi kehidupan sosial. Agamawan dan tokoh masyarakat sangat ditunggu peran dan sikapnya.(*)