Oleh: Abd. Kholiq
Tiga kandidat capres-cawapres (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar – AMIN, Prabowo-Gibran—PAGI dan Ganjar Mahfudz – GM ) di Pemilu Presiden tahun 2024, dengan konsep dan janjinya pasti ingin membawa bangsa ini menuju Indonesia Emas tahun 2045 – setelah mampu melewati – bonus demografi/ Demographic Dividend – BD . Yakni, Indonesia yang; adil, terdidik, beradab dan sejahtera untuk semua. Kini, semua kandidat harus mendiskripsikan solusi dan tindakan nyata merespon BD – yang bisa jadi, Peluang/ Berkah bagi bangsa.
Namun, juga bisa paradoks – ekstrimya, menggiring ke “KUBURAN” bangsa – bila tawaran solusinya tidak bernilai ideologis karena menumpang arus global yang reduktif, leberalisti dan kapitalistik. Contoh; Negara Turki (sekularistik) yang kolaps di zaman Kemal Attarturk bisa bangkit di Zaman Erdogan dan negara Jepang yang gemilang pasca Bom Hiroshima – Nagasaki. Bagaimana dengan Indonesia?
Ledakan penduduk Indonesia mencapai 297 juta (Release Bappenas) dimulai dari tahun 2020 – 2045. Puncaknya, bakal terjadi tahun 2030 – yang disebut sebagai BD lantaran usia produktif mendominasi, sekitar 50 persen lebih dari jumlah penduduk 297 juta itu. Jumlah usia produktif inilah, yang dipersepsi dan diharapkan menjadi salah satu variabel penting peningkatan ekonomi. Para elite negeri, pakar dan sederetan lainnya – serentak bernarasi: Ekonomi Indonesia akan bangkit menuju Indonesia Emas dengan jembatan Demographic Dividend.
Pendeknya, dengan BD itu; untung atau buntungkah negeri ini?
Goodwil Pemerintah?
Cukup modal/ potensi bahwa Indonesia Emas tercapai dengan mulus. Sumberdaya Alam berlimpah dan Sumberdaya Manusia juga cukup memadai. Barisan ahli, pakar, teknokrat – yang mampu merancang masa depan bangsa ini – lebih baik – tidak bakalan habis – lalu import pakar luar negeri, seperti; produk komoditas sembako. Itu tentu tidak terjadi. Dominasi usia produktif 50 persen lebih dari 270 juta – bisa membuat performa industri Indonesia akan maju. Peluang kerja makin terbuka bagi kalangan milenial dan geneasi Z karena tumbuhnya investasi serta besarnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan.
Satu di antara perhatian itu adalah memberi ruang yang cukup bagi kalangan milenial dalam proses pembangunan bangsa di segala bidang. Mulai dari porsi rendahan di desa, menjadi Kepala Desa, umpama – hingga puncak kepresidenan – menjadi Presiden.
Tidak seperti saat ini. Milenial masih diporsikan dalam persepsi dan diskusi belum dalam tindakan dan aksi. Mereka hanya dinarisakan sebagai generasi penerus tapi jarang diikutkan dalam proses, diurus dan djadikan penerus. Bahkan, kadang masih dianggap GENERASI INGUS yang ujungnya, mungkin, dianggap tidak becus.
Bila narasi semacam ini terus berlanjut dan dianggap KITAB SUCI, maka BD yang diagungkan itu justeru bakal meledak menghantam dan melemahkan kedigdayaan bangsa ini.
Ledakan pengangguran 60 persen – 70 persen dari 270 juta penduduk bisa jadi awal Indonesia terpuruk di tahun 2030. Indonesia Emas (EI) yang bakal hadir 2045 nanti terganjal oleh superioritas elite negeri ini yang apriori terhadap kualitas dan kemampuan pendidikan milenial yang di-INGUS-kan.
Dampak susulannya antara lain; 60 pesen – 70 persen usia produktif itu bakal terisi arus global yang bercorak: liberal, hedon dan non-ideologis. Pada konteks inilah good will pemerintah harus hadir pro-milenial. Pendeknya, milenial butuh sapaan hangat dan jembatan menuju Indonesia Emas.
“GIBRANations”
Di Pemilu 2024, Pileg (Pilihan Legislatif) maupun Pilpres (Pilihan Presiden) adalah momentum penting lahirnya generasi baru. Yakni generasi usia 17 tahun – 25 tahun yang berkiprah selama 20 tahun menuju Indonesia tahun 2045. Mereka butuh Jembatan yang menghantarkannya menuju puncak Indonesia Emas. Baik dalam perspektif usia, ilmu, gaya hidup atau style yang selaras dan senafas dan tentu, butuh pula panduan dan pengarah untuk memuluskan perjalanan yang terjal.
Cawapres Gibran di pilpres 2024, bisa jadi fenomena positif untuk menjadi jembatan para milenial lantaran usia, ilmu dan style – yang mirip sama. Mereka bisa berunding bersama merancang program nasional atau global bagi masa depan bangsa. Memperkokoh nasionalisme generasi bangsa (nation character building) untuk kemudian juga berperan secara global. Meskipun, ada ragam pandagan tampilnya Gibran sebagai cawapres Prabowo. Misalnya; ada yang gagap politik karena masih perlu proses dan, maaf, masih ingusan. Melanggengkan politik dinasti atau dinasti politik. Terlepas dari itu, sikap-mental Gibran harus diapresiasi dan dijadikan Jembatan menuju Indonesia Emas.
Mampukah? Dengan cawapres lainnya (Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar) tentu tidak sebanding. Misalnya; pengalaman dan keilmuannya. Tetapi, sikap dan mental Gibran menjadi sumber kekuatan bersama gerbong milenial se Indonesia untuk bersedia menjadi Jembatan Emas. Kendatipun, mungkin tidak sedikit pula se-muda dan se-usia Gibran yang merasa lebih tangguh bersedia dengan posisi yang sama.
Namun, faktanya Gibran lah yang kini tampil sebagai cawapres Prabowo. Dalam konteks ini, Gibran tidak sendirian memikul beban berat menjadi Jembatan menuju Indonesia Emas. Prabowo, boleh dibilang sebagai “menusia sejarah” karena peran dan perjuangannya dalam perjalanan bangsa ini – akan menjadi penuntun GIBRANations – mencapai Indonesia Emas. Itulah satu sisi “PRABOWO-GIBRAN”. Wa Allah ‘A’lam bi-al-showaf
*penulis :ketua Yayasan Bani Adam Jombang, tinggal di Jombang Jawa Timur.