Oleh : totok,wartawan finews.co.id
finews,-Saat ini sedang bergaung nama atau disebut orang yaitu “koperasi”,tak lain rencana pembentukan 80 ribu koperasi di tanah air turut mempopulerkan nama koperasi.Bahkan presiden pun telah menginstruksikan dengan Inpresnya.
Selain itu koperasi yang sejak kelahiranya digadang-gadang sebagai Sokoguru perekonomian ,ternyata diberitakan banyak bermasalah,mulai hanya untuk kedok belaka,fiktif,warga tertipu,bahkan bubar.
Terbaru di kabupaten Magetan Jawa Timur ramai soal koperasi yang dianggap membawa sengsara sejumlah anggota.Lalu mengapa kok bisa begitu.
Koperasi sebagai pelaku bisnis bisa terpuruk bahkan bangkrut disebabkan oleh faktor internal yaitu tidak amanah, tata kelola yang salah,prilaku pengawas,pengurus dan karyawan.Kedua faktor eksternal yang sulit diprediksi dan dihindari seperti kondisi ekonomi makro nasional dan global, bencana, dan wabah seperti pandemi covid.
Human Resources alias SDM koperasi sejatinya intangible asset yang bisa membawa koperasi menjadi berhasil.
Ada beberapa hal buruk yang jika terjadi pada top level management meliputi direktur, manager, kepala divisi, kepala bagian kemudian pengurus, dan pengawas yang menyebabkan koperasi akan jatuh bangkrut.
Budaya Pamer.
Budaya Pamer (flexing) belakangan kerap terlihat memenuhi lini media sosial yang dilakukan oleh artis dan influencer.
Jika flexing culture alias kebiasaan pamer ini juga dilakukan oleh SDM yang ada di koperasi dan mempunya posisi strategis,maka cenderung membuat kebangkrutan koperasi ,mengapa ?
Kebiasaan pamer akan membuat orang terstimuli menggunakan jalan gelap alias mencuri uang koperasi
Kalaupun tidak mencuri, para penghamba flexing bisa membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya
Serakah
Orang serakah, rakus alias tamak menjadi virus yang menggerogoti finansial koperasi. Mereka akan mempunyai mindset “Apa yang bisa kuambil dari koperasi”
Jika ada gerombolan orang serakah di koperasi dan mereka menduduki posisi penting, bisa dipastikan koperasi dalam keadaan bahaya. Sebanyak apapun aset, likuiditas koperasi bisa habis jika koperasi dikelola oleh orang-orang serakah.
Egois
Orang-orang egois yang bersikap mementingkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri, tidak akan berpikir keberlangsungan koperasi di masa depan.
Mereka tidak berpikir eksistensi koperasi. Yang menjadi fokusnya adalah apa yang bisa saya ambil dari koperasi.
Agar aksi mereka tidak terlihat sebagai penjarahan, maka dibuatlah program dengan positive vibes seperti membuka unit usaha baru demi mendapatkan rente dari mark up pembelian lisensi, atau menjual unit bisnis koperasi dengan nilai aset fantastis dengan dalih regulasi otoritas terkait.
Padahal motif sebenarnya adalah menjarah uang koperasi demi memperkaya diri. Hal ini mudah dilakukan jika ada beberapa orang yang punya posisi penting di koperasi mempunyai niat jahat yang sama.
Tidak Cakap
Ketidakcakapan alias inkompetensi juga menjadi pendorong koperasi masuk jurang kebangkrutan. Sayangnya, kadang orang-orang dengan kategori inkompeten ini kerap meng-glorify dirinya dengan modal kemampuan berbicara alias omdo (omong doang) tiap ada event-event penting di koperasi.
Orang-orang inkompeten baik di level pengurus, pengawas, dan top level management alias karyawan juga kerap menggunakan jalur politisasi di koperasi untuk melanggengkan posisinya.
Koperasi yang sejatinya lembaga bisnis, mendadak berubah menjadi ormas berisi orang-orang oportunis yang pintar memanipulasi demi keuntungan pribadi.
Penyebab Lain:
Sungguh aneh jika koperasi yang berazas kemandirian dan gotong royong ini malah bangkrut layaknya lembaga investasi keuangan abal-abal.Diantara penyebabya adalah:
Pertama, Dana utama dari utang bank. Sudah banyak koperasi yang melakukan praktek ini, agar modal banyak mereka tak sungkan untuk pinjam dana ke bank, efeknya jelas bank tetaplah bank. Bank juga memberikan bunga yang harus dibayar oleh koperasi, walaupun secara persenan kecil, namun jika dikalkulasikan beberapa bulan akan terus membengkak. Apalagi jika uang modal tadi mandek di koperasi karena tak ada masyarakat yang pinjam uang. Akhirnya pengurus koperasi menawarkan pinjaman ke siapapun tanpa pandang bulu dan persyaratan yang mudah. Hasilnya jelas banyak kredit macet yang membuat koperasi semakin tersudut dan bangkrut.
Kedua, Tak layani simpan hanya pinjaman. Hal ini efek domino dari alasan yang pertama, karena koperasi memiliki modal uang yang besar hasil pinjaman bank jadi tak perlu ada iuran anggota. Efeknya anggota tak merasa memiliki koperasi, jiwa gotong royong hilang. Koperasi pada akhirnya mirip dengan bank perkreditan rakyat. Saat koperasi kolaps, tak ada satupun anggota yang mau menolong, toh dari awal juga tak ada hubungan yang baik.
Ketiga, Serasa milik pribadi. Hal ini yang bahaya namun terjadi dimana-mana. Banyak koperasi yang dimiliki oleh beberapa orang saja, jadi koperasi sudah seperti badan usaha milih orang tersebut. Bahkan bisa jadi susunan pengurus koperasi kebanyakan dari sanak keluarga si pemimpin koperasi. Efeknya jelas keputusan sangat terpusat dan anggota tak akan punya suara untuk memperbaiki koperasi.
Keempat, Peraturan hanya simbolis. Misal ada koperasi yang mengangkat dewan penasehat atau pengurus harian dari unsur keluarga pengurus yang awam dengan masalah koperasi. Jelas efeknya dia hanya menjadi dewan penasehat abal-abal hanya untuk mengisi struktur pengurus sesuai peraturan koperasi.
Kelima, Pengawasan dari Anggota minim. Banyak koperasi yang tak transparan masalah keuangan, banyak juga anggota koperasi yang masa bodo masalah laporan ini. karena sudah sama-sama cocok akhirnya laporan keuangan dibuat apa adanya dan sangat riskan terjadi kecurangan atau kebocoran anggaran. Bisa saja uang koperasi dibuat usaha atau dihutang oleh pengurusnya tanpa ada prosedur yang jelas. Plus rasa memiliki koperasi yang sudah pudar dari para anggotanya, bagi mereka yang penting pembagian SHU lancar setiap tahun.
(penulis juga aktif pada bidang sosial,program jum’at berkah,tinggal di kabupaten Magetan Jawa Timur)